JAKARTA, KOMPAS --Pemerintah diminta menyusun strategi peningkatan pendapatan negara tahun 2019 yang ditargetkan mencapai Rp 2.142,5 triliun. Peningkatan pendapatan negara akan memperkecil risiko ketergantungan utang di tengah ketidakpastian global yang masih berlanjut.
Dalam rapat paripurna ke-2 masa persidangan VI di Komplek Parlemen, Senayan, Selasa (28/8/2018), 10 fraksi DPR menyetujui pembahasan lanjutan Rancangan Undang-undang APBN 2019. Masing-masing fraksi menyampaikan pandangan terhadap Rancangan APBN 2019. Isu yang disoroti, antara lain, pendapatan negara, pengelolaan utang, pertumbuhan ekonomi, dan kondisi domestik terkini.
Salim Fakhry, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, mengatakan, kinerja pemerintah dalam pengampunan pajak dan peningkatan peringkat utang bisa mendorong optimisme. Namun, pengelolaan APBN 2019 harus hati-hati karena kondisi politik domestik cukup tinggi dan ketidakpastian global berlanjut.
Pemerintah mesti menyusun strategi peningkatan pendapatan negara agar target defisit dalam RAPBN 2019 sebesar 1,84 persen Produk Domestik Bruto (PDB) bisa terealisasi. Selain optimalisasi pajak, pemerintah harus menggali potensi penerimaan lain, seperti memperluas jenis barang kena cukai dan membangun pusat ekonomi baru. Pendapatan negara ibarat amunisi untuk merespons gejolak global.
Pendapatan negara 2019 terdiri dari penerimaan pajak Rp 1.781 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 361,1 triliun, dan hibah Rp 400 miliar. Rasio pajak terhadap PDB pada 2019 diproyeksikan 12,1 persen.
Abubakar Wasahua, anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan menuturkan, pendalaman pasar keuangan melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) rupiah di pasar domestik mesti terus dilakukan. Tujuannya untuk menjaga depresiasi rupiah tidak semakin dalam sehingga pembiayaan bunga utang tetap terkendali. Ketidakpastian global harus diwaspadai dengan memperkuat fundamen perekonomian.
Diperlambat
Secara terpisah, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada A Tony Prasetiantono kepada Kompas, mengatakan, secara keseluruhan, utang pemerintah dan utang luar negeri Indonesia aman. Persentase utang pemerintah terhadap PDB sebesar 29,74 persen, jauh dari batas bawah yakni 60 persen PDB.
Namun, seiring peningkatan ketidakpatian global, pemerintah hendaknya mulai menempuh sikap konservatif.
Belanja pemerintah yang mengandung barang impor harus diperlambat sehingga membantu menjaga rupiah dari ancaman depresiasi. Selain itu, akselerasi penarikan utang baru diperlambat agar tidak membebani di masa depan. Pada 2019, pembayaran utang jatuh tempo cukup besar, sekitar Rp 409 triliun.
“Meski masih dalam batas pemerintah bisa membayarnya, mempertajam prioritas utang baru adalah sikap terbaik,” kata Tony.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah memantau dinamika pasar untuk mencari alternatif pembiayaan, termasuk dengan penawaran terbatas. Keuntungannya adalah kupon atau tenor bisa dimodifikasi sesuai kebutuhan investor. (KRN)