JAKARTA, KOMPAS Implementasi kebijakan untuk menyelamatkan rupiah perlu dipercepat. Langkah ini penting karena sentimen terhadap dua risiko global -yaitu perang dagang Amerika Serikat dengan sejumlah negara dan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS-, kian menguat.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kembali melemah, Rabu (29/8/2018), yakni Rp 14.643 per dollar AS. Sehari sebelumnya, Selasa, berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, sebesar Rp 14.614 per dollar AS. Tahun ini, rupiah terlemah pada posisi Rp 14.655 per dollar AS, pada Jumat (24/8).
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual kepada Kompas, Rabu (29/8/2019), mengatakan, tekanan perang dagang AS-China semakin kuat. Pada 5 September 2018, AS akan kembali meningkatkan bea masuk produk-produk asal China dari 100 miliar dollar AS menjadi 200 miliar dollar AS.
Di sisi lain, pekan lalu, Bank Sentral AS, The Fed, menyatakan tetap akan menaikkan suku bunga acuan kendati Presiden AS Donald Trump tidak setuju.
“Dua risiko global yang semakin meningkat itu memengaruhi sentimen pasar, sehingga dollar AS kembali menguat terhadap sejumlah mata uang, termasuk rupiah,” ujarnya.
Menurut David, pemerintah perlu segera mengimplementasikan kebijakan untuk menyelamatkan rupiah, terutama pelaksanaan mandatori B20 dan peningkatan devisa pariwisata. Impor juga perlu ditekan, namun dengan tetap dengan memperhitungkan ketersediaan bahan baku pengganti di dalam negeri.
Jika seluruh upaya itu berjalan, asumsi rupiah dalam RAPBN 2019, yaitu Rp 14.400 per dollar AS bisa terealisasi.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsyah mengatakan, rupiah sebenarnya sudah mulai menguat. Pada Selasa terjadi beli bersih investor asing di pasar surat berharga negara (SBN), sebesar Rp 5,89 triliun.
Namun, Rabu, rupiah melemah karena pembelian valuta asing (valas) oleh korporasi untuk keperluan impor besar. "Pembelian valas oleh nasabah korporasi dan individu, sekitar 800 juta dollar AS, tidak tertutup dari penjualan korporasi, termasuk eksportir, yang sekitar 600 juta dollar AS," kata dia.
Nanang menambahkan, pelemahan rupiah pada Rabu yang sebesar 0,12 persen juga terjadi karena faktor eksternal.
"BI terus berupaya menahan pelemahan itu agar tidak terlalu cepat dan tajam," ujarnya.
Devisa
Pemerintah masih mengkaji kebijakan baru agar pengusaha menarik dan mengkonversi devisa hasil ekspor mereka ke dalam negeri. Kebijakan pemerintah akan dituangkan dalam bentuk insentif dan disinsentif agar eksportir menahan devisa hasil ekspor lebih lama di bank domestik.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, mengatakan, upaya menarik devisa hasil ekspor tidak hanya mengandalkan kebijakan BI yang menurunkan batasan pengajuan transaksi tukar-menukar lindung nilai (swap hedging) dari 10 juta dolar AS menjadi 2 juta dolar AS.
Pemerintah, tambah Susiwijono, akan mengevaluasi instrumen lain yang bersifat disinsentif. Disinsentif pernah diterapkan pada 2011. Pengusaha yang tidak menarik devisa hasil ekspor ke dalam negeri akan dihambat ekspornya di bea cukai.
Kewajiban menarik devisa hasil ekspor digunakan untuk memenuhi ketentuan di instansi lain. Aturan itu bisa dijadikan dasar untuk melayani atau tidak melayani ekspor di bea cukai.
“Dulu sangat efektif dan tingkat pemenuhannya sudah sangat tinggi,” kata Susiwijono di Jakarta, Rabu.
Berdasarkan data BI, lebih dari 90 persen eksportir sudah membawa devisa hasil ekspor ke dalam negeri. Namun, yang dikonversikan ke rupiah hanya sekitar 15 persennya.
Pada April 2018, devisa hasil ekspor sebesar 11,822 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, sekitar 92,7 persennya atau 10,954 miliar dollar AS masuk ke bank domestik di dalam negeri. Akan tetapi, yang dikonversikan ke rupiah hanya 15,1 persen dari yang masuk ke bank domestik.
Susiwijono mengakui, upaya menarik devisa hasil ekspor terganjal Undang-undang Nomor 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Indonesia menganut rezim devisa bebas, tidak seperti Malaysia dan Thailand yang melakukan pengendalian ketat terhadap devisa hasil ekspornya.
Sejauh ini, belum ada wacana mengubah UU karena prosesnya panjang dan rumit. “Mengubah UU butuh proses dan waktu. Namun, harus diakui, situasi ketika UU diterbitkan tahun 1999 sudah tidak relevan dengan saat ini,” katanya.
Secara terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, pemerintah dan BI harus memberikan insentif dan disinsentif lebih besar bagi eksportir yang menahan devisa hasil ekspor di bank domestik. Insentif itu bisa berupa pemangkasan pajak deposito, sedangkan disinsentifnya berupa peningkatan pajak deposito.
“Di paket kebijakan tahun 2015 baru sekadar insentif, belum ada sanksi,” kata Bhima. (HEN/KRN)