Dalam sepekan terakhir, PT Pertamina (Persero) menemukan penyalahgunaan elpiji 3 kilogram yang disubsidi negara di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Lebih dari 700 tabung elpiji bersubsidi per bulan digunakan oleh konsumen yang seharusnya tidak layak disubsidi. Buntut lemahnya sistem pendistribusian di lapangan.
Dalam inspeksi mendadak (sidak) Pertamina bersama unsur pemerintah daerah, aparat kepolisian, serta pengurus Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas), ditemukan konsumen mampu, seperti rumah makan dan usaha peternakan, memakai elpiji yang sejatinya buat masyarakat miskin itu. Dari sejumlah temuan di Kabupaten Bantul, misalnya, sebanyak 756 tabung elpiji 3 kilogram dipakai konsumen mampu. Sementara pada beberapa rumah makan di Klaten, Jawa Tengah, ditengarai 71 tabung elpiji 3 kilogram yang digunakan setiap bulannya.
Tak ada mekanisme sanksi yang jelas untuk pemakaian elpiji 3 kilogram yang tak tepat sasaran ini. Padahal, jelas tertulis "HANYA UNTUK MASYARAKAT MISKIN" pada badan tabung. Kenyataan di lapangan, konsumen seperti pemilik mobil pribadi dan rumah kelas menengah kerap kedapatan membeli tabung elpiji bersubsidi tersebut.
Tak ada mekanisme sanksi yang jelas atas penyelewengan pemakaian elpiji bersubsidi. Padahal, subsidi negara mencapai puluhan triliun rupiah per tahun.
Kasus di atas belum termasuk penyelewengan lain berupa pengoplosan gas. Modusnya, pelaku membeli elpiji 3 kilogram untuk dicampur ke dalam tabung elpiji 12 kilogram yang nonsubsidi. Selisih harga elpiji 3 kilogram dengan 12 kilogram yang dijadikan ruang bagi pelaku penyelewengan itu untuk mengambil untung.
Pemerintah sudah lama mewacanakan model pendistribusian tertutup untuk elpiji 3 kilogram. Model ini mensyaratkan hanya konsumen pemegang kartu identitas tertentu, sebagai bukti bahwa ia layak mendapat subsidi dari negara, yang dapat membeli elpiji tersebut. Sayangnya, wacana tinggal wacana. Rencana masih jauh panggang dari api.
Padahal, subsidi elpiji besarannya tidaklah sedikit. Nilainya mencapai puluhan triliun rupiah per tahun. Volume konsumsinya dari tahun ke tahun terus naik. Patokan APBN tahun sebanyak 6,4 juta metrik ton, sedangkan realisasi tahun lalu sebanyak 6,2 juta metrik ton. Padahal, realisasi konsumsi elpiji 3 kilogram hingga Juli tahun ini sudah mencapai 3,7 juta metrik ton atau diperkirakan melampauo kuota sampai akhir tahun ini.
Dengan harga eceran Rp 16.000 sampai Rp 20.000 per tabung, besaran subsidi elpiji 3 kilogram sekitar Rp 7.000 per kilogramnya. Artinya, hingga Juli 2018, subsidi untuk elpiji 3 kilogram sudah mencapai Rp 25,9 triliun. Nilai tersebut sudah lebih besar dari subsidi solar untuk periode yang sama.
Mengapa pengendalian distribusi elpiji tak kunjung jelas? Pemerintah berdalih ada masalah dalam hal pendataan masyarakat yang berhak disubsidi. Alasan lain adalah pilihan skema yang belum jelas antara menggunakan kartu beridentitas khusus bagi pemegang atau penerima subsidi atau skema pemberian bantuan langsung tunai (BLT) kepada penerima subsidi.
Padahal, sejumlah uji coba distribusi tertutup sudah dilakukan di beberapa wilayah, seperti Batam, Bali, dan Lombok. Belum jelas apa kesimpulan dari uji coba tersebut. Selain itu, rencana penertiban pendistribusian elpiji bersubsidi ini melibatkan sejumlah instansi, seperti Pertamina, Kementerian ESDM, dan Kementerian Sosial. Tak terlihat instansi mana yang ditunjuk sebagai koordinator.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya menertibkan pendistribusian melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquefied Petroleum Gas. Hanya kelompok rumah tangga dan usaha mikro dengan penghasilan atau pengeluaran tidak lebih dari Rp 1,5 juta per bulan yang berhak memakai elpiji bersubsidi. Hal itu bisa dibuktikan melalui slip gaji atau surat keterangan tidak mampu. Namun, ketentuan itu sulit terealisasi di lapangan.
Pengendalian subsidi elpiji menjadi tantangan di tengah defisit neraca transaksi berjalan, khususnya dari sektor minyak dan gas bumi. Pasalnya, sekitar 60 persen elpiji yang dikonsumsi di Indonesia diperoleh dari impor. Subsidi tidak tepat sasaran itu sama saja membukakan pintu defisit yang kian lebar.