JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah membantah tuduhan bakal calon wakil presiden Sandiaga Uno, yang menyebut pemerintah mengintervensi data kemiskinan olahan Badan Pusat Statistik. BPS dipastikan bekerja secara independen.
”BPS punya undang-undang yang menunjukkan independensi mereka,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (31/8/2018).
Bambang menuturkan, data yang digunakan BPS menggunakan metode yang sudah teruji dan berpatokan pada metode internasional. Pernyataan tersebut dinilai telah melukai disiplin kerja yang telah dibangun lembaga negara tersebut selama ini.
Kredibilitas suatu lembaga, kata Bambang, sangat bergantung pada independensi. Meski BPS berada di bawah pembinaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ia mengaku baru mengetahui hasil dari penelitian BPS satu jam sebelum pengumuman publik.
Rabu lalu, Sandiaga Uno menuding pemerintah mengontrol BPS dalam hal data kemiskinan dan pengangguran. Ia juga menilai bahwa data BPS tidak akurat. Dia mencontohkan data soal kemiskinan yang diklaim menurun ke angka 9,82 persen atau setara dengan 25,95 juta orang per Maret 2018.
Sandiaga percaya data yang dimilikinya lebih terukur karena berdasarkan keluhan langsung dari masyarakat saat ia dan timnya berkunjung di beberapa daerah. Sandiaga pun berjanji akan memperbaiki keadaan bila terpilih sebagai wapres.
Secara terpisah, Kepala BPS Suhariyanto menilai, polemik soal data kemiskinan BPS timbul karena tidak semua orang memahami metodologi penelitian kuantitatif yang digunakan BPS.
Sejak 1976, BPS menggunakan metodologi kebutuhan masyarakat untuk menghitung angka kemiskinan. Sejak krisis ekonomi 1998, metode tersebut disempurnakan dengan perluasan cakupan komoditas.
”Kemiskinan itu multidimensional, masalah yang kompleks sekali, untuk mengukurnya juga banyak ukuran yang digunakan. BPS memilih metode kebutuhan dasar karena itu mengacu guidance internasional yang banyak digunakan oleh negara berkembang,” ujarnya.
Dengan metodologi ini, BPS mencatat presentasi penduduk miskin Indonesia pada 1976 mencapai 40 persen. Pada 1996, angka kemiskinan sempat turun menjadi 11,3 persen tetapi meningkat menjadi 24 persen saat krisis ekonomi 1998.