JAKARTA, KOMPAS – Selain mendorong suplai rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kualitas rumah subsidi yang baik dan layak menjadi fokus perhatian pemerintah. Selain dengan kebijakan registrasi pengembang, penerbitan sertifikat laik fungsi menjadi instrumen pengawasan.
“Kalau ada APBN atau dana pemerintah yang masuk, maka saya berwenang untuk menyatakan menolak atau mengatakan tidak. Kan selama ini (rumah subsidi) diserahkan kepada bank untuk diawasi. Ini keliru. Ini kan uang negara,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Kamis (30/8/2018), di Jakarta.
Basuki mengatakan, selain memastikan agar pasokan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah terjaga, pemerintah juga fokus untuk mengawasi kualitas rumah yang pembiayaannya disubsidi pemerintah. Salah satu caranya dengan kebijakan registrasi pengembang. Basuki juga meminta agar pengawasan kualitas rumah subsidi terus dilakukan.
Hingga kini, pemerintah mencatat, jumlah pengembang yang teregistrasi sebanyak 10.237 pengembang rumah subsidi dan 16 asosiasi pengembang. Sementara, hingga 20 Agustus, jumlah rumah yang dibangun mencapai 582.638 unit yang 68 persennya merupakan rumah berspesifikasi subsidi dan 32 persen nonsubsidi. Menurut Basuki, jika pemerintah menemukan ada rumah subsidi yang kualitasnya tidak memenuhi standar, pengajuan subsidi akan ditolak.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Lana Winayanti sebelumnya mengatakan, pemerintah pernah mensurvei pembeli rumah subsidi yang tidak dihuni. Alasan tidak dihuni adalah prasarana dan sarana umum (PSU) seperti listrik dan air yang belum ada sehingga belum bisa langsung dihuni.
Dengan adanya registrasi pengembang dan asosiasi, maka pengawasan akan lebih mudah dilakukan. Jika rumah yang dibangun tidak memenuhi standar, maka keluhan bisa disampaikan ke pemerintah. “Kalau ada keluhan dari masyarakat, bisa dicek pengembangnya siapa dan berada di bawah asosiasi yang mana. Ini sekaligus untuk pengendalian kualitas rumah subsidi,” ujar Lana.
Menurut Lana, dengan adanya ketentuan baru di dalam Peraturan Pemerintah No 64/2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah, pengembang diwajibkan memenuhi standar kualitas rumah yang dibuktikan dengan sertifikat laik fungsi (SLF) yang diterbitkan pemerintah daerah setempat. Jika pemda setempat belum mampu menerbitkan SLF, maka bisa diganti dengan dokumen dari tenaga ahli yang menerangkan bahwa rumah dibangun sesuai standar.
Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin mengatakan, selain registrasi pengembang, pemerintah akan melakukan klasifikasi dan sertifikasi. Asosiasi akan diminta untuk membina anggotanya agar selalu memenuhi ketentuan pemerintah.
Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia Totok Lusida mengatakan, pada prinsipnya pengembang akan mengikuti aturan pemerintah. Terlebih, untuk wilayah yang rawan gempa memang diperlukan konstruksi bangunan yang lebih kuat. Terkait dengan SLF yang dituangkan ke dalam PP 64/2016, keterangan dari tenaga ahli diperbolehkan oleh pemerintah. “Kami terus berdiskusi dengan pemerintah terkait konstruksi rumah, termasuk dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian PUPR,” kata Totok. (NAD)