JAKARTA, KOMPAS--Literasi atau pemahaman teknologi digital, khususnya media sosial, di kalangan ibu rumah tangga tergolong mengkhawatirkan. Sejumlah anggapan yang salah sering muncul di kalangan mereka sehingga informasi yang salah mudah menyebar. Padahal, para ibu rumah tangga ini bisa memberdayakan diri sehingga teknologi digital dapat digunakan untuk mengecek berita dan keperluan usaha.
Pandangan ini muncul dari beberapa pembicara dalam TEDx Jakarta dengan tema Jagad Manusia di Balai Sarbini, Jakarta, Sabtu (8/9). TEDx yang telah dilaksanakan ke-13 kalinya di Jakarta membahas berbagai hal, antara lain kebudayaan, pertanian, dan arsitektur.
“Kesenjangan literasi digital kaum perempuan (dengan laki-laki) sangat lebar. Riset global menyebutkan, sekitar 53 persen perempuan tidak mendapat informasi yang benar (melalui teknologi digital). Saya kira ini masalah yang serius. Padahal, emak-emak mempunyai potensi,” kata konsultan komunikasi kreatif Karlina Octaviany dalam salah satu sesi.
Ia menyebutkan, dalam salah satu pelatihan, ada ibu rumah tangga yang mengatakan bahwa Facebook adalah semacam kantor berita. Dalam konteks ini, mereka percaya semua informasi yang beredar di media sosial mempunyai kebenaran. Jika keadaan ini tak ditangani, maka berbagai masalah yang bersumber pada penyebaran informasi yang tidak benar akan terjadi berulang-ulang.
Karlina mengatakan, salah satu cara untuk mengurangi kesenjangan adalah dengan membuat pelatihan di kalangan ibu rumah tangga. Akan tetapi pelatihan itu tidak mudah karena ibu-ibu masih memiliki beban di rumah tangga yang harus diselesaikan lebih dulu ketika hendak mengadakan pelatihan.
“Mereka tertarik ikut pelatihan. Namun harus diingat, mereka juga menghitung investasi yang dikeluarkan. Jika mereka ikut pelatihan, maka tidak ada yang menyiapkan makan siang untuk keluarga. Masalah seperti ini perlu diselesaikan agar mereka bisa fokus di pelatihan,” katanya.
Dalam pelatihan, para ibu rumah tangga diajarkan untuk menjadi penyaring informasi keluarga melalui cara-cara pengecekan informasi.
Sementara, Nurshadrina Khaira Dhania, rema dan pengguna media sosial yang sempat terpengaruh aliran radikal dan pergi ke Suriah bersama keluarganya, bercerita, semua itu berawal dari media sosial. Ia membaca konten-konten yang meyakinkan dia untuk pergi ke Suriah. Kemudian ia membaca buku-buku pengetahuan tentang paham-paham yang mendukung.
“Saya merasa ilmu bertambah, namun saya merasa kosong. Semua kebutuhan hidup saya terpenuhi, tapi kok enggak puas. Saya makin percaya dengan infromasi-informasi di media sosial dan buku-buku itu. Saya berhasil meyakinkan orang tua saya dan anggota keluarga lainnya untuk pergi ke Suriah hingga kami berangkat,” kata Dhania.
Ketika tiba di Suriah, ternyata mereka tidak mendapatkan sesuatu yang diimpikan dan dijanjikan. Mereka mengalami kesusahan dan kebutuhan hidup harus dibeli. “Beginilah kalau kita tidak melakukan mengecek dan mengecek ulang terhadap sebuah informasi," tutur Dhania. (MAR)