JAKARTA, KOMPAS — Penguatan nilai tukar dollar AS terhadap rupiah saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mengganti komponen impor dengan lokal. Langkah itu, selain mendukung pertumbuhan industri Tanah Air, juga mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan Indonesia defisit 3,09 miliar dollar AS pada Januari-Juli 2018. Pada periode itu, impor mencapai 107,324 miliar dollar AS, dengan 75,02 persen di antaranya berupa bahan baku atau penolong. Adapun sisanya sekitar 15,75 persen berupa barang modal dan 9,23 persen berupa barang konsumsi.
”Selama ini kita sudah terlena menjadi pasar industri negara lain. Di industri maritim, selama 2006-2018, Indonesia hampir mengimpor 10.000 kapal dengan perkiraan nilai sekitar Rp 100 triliun. Saatnya kita menggunakan produk dalam negeri untuk menguatkan rupiah,” tutur Ketua Umum DPP Ikatan Pengusaha Galangan dan Industri Kapal Indonesia (Iperindo) Eddy Logam di Jakarta, pekan lalu.
Direktur Utama PT Angkasa Pura I (Persero) Faik Fahmi mengatakan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mulai menggunakan produk lokal. ”Kami sedang mengevaluasi lagi, produk impor mana saja yang bisa kami ganti dengan produk lokal, tetapi dengan kualitas yang sama. Pengembangan produk lokal itu bisa dilakukan dengan sinergi BUMN,” ujarnya.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Pahala N Mansury menyampaikan, Garuda telah melakukan lindung nilai, baik pada nilai tukar maupun pada bahan bakar.
”Saat ini lindung nilai sudah dilakukan sebesar 30 persen dan tidak menutup kemungkinan akan melakukan lindung nilai hingga 50 persen,” katanya.
Sementara Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menegaskan, kenaikan tarif Pajak Penghasilam impor bisa dimanfaatkan pelaku industri di Indonesia untuk mengisi kebutuhan barang. Selama ini, sebenarnya ada barang yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri, tetapi tetap diimpor.