JAKARTA, KOMPAS--Tren likuiditas valuta asing dan rupiah industri perbankan semakin ketat. Kondisi itu terlihat dari rasio di atas batas likuiditas yang ditentukan Bank Indonesia.
Menghadapi kondisi ini, perbankan diharapkan lebih berhati-hati dan selektif menyalurkan kredit. Industri perbankan disarankan untuk fokus pada sektor produktif dan industri yang kandungan impornya tidak terlalu tinggi.
Menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) bank umum naik dari 92,13 persen pada Juni 2018 menjadi 93,5 persen pada Juli 2018. Rasio LDR pada Juli 2018 merupakan yang tertinggi sejak Januari 2013.
Pada periode tersebut, kredit tumbuh 11,34 persen, sedangkan dana pihak ketiga (DPK) hanya tumbuh 6,89 persen. Adapun batas atas likuiditas yang ditentukan Bank Indonesia (BI) sebesar 92 persen. Dana pihak ketiga adalah dana masyarakat yang dihimpun perbankan.
Hal itu mengemuka dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner LPS di Jakarta, Rabu (12/9/2018).
RDK LPS memutuskan menaikkan suku bunga penjaminan untuk simpanan rupiah di bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR), masing-masing 25 basis poin. Suku bunga penjaminan simpanan rupiah di bank umum menjadi 6,5 persen dan di BPR menjadi 9 persen.
Adapun suku bunga penjaminan simpanan valuta asing (valas) bank umum naik 50 basis poin menjadi 2 persen.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Halim Alamsyah menjelaskan, salah satu hal yang menjadi pertimbangan LPS menaikkan suku bunga penjaminan simpanan adalah kecenderungan likuditas yang semakin mengetat. Likuiditas rupiah di perbankan mengetat karena penyaluran kredit tumbuh cukup tinggi, yang tidak dimbangi dengan pertumbuhan DPK.
Sementara, likuditas valas mengetat karena tambahan simpanan valas sangat minim, sedangkan permintaan kredit valas cukup tinggi. Perbankan nasional relatif tidak memiliki banyak valas sehingga menahan penyaluran kredit valas.
“Mereka khawatir tidak dapat memenuhi permintaan valas apabila sewaktu-waktu kreditur mengambil simpanan valas. Di sisi lain, transaksi valas justru banyak terjadi di pasar tunai dan harian dengan volume transaksi sekitar 3 miliar dollar AS sampai dengan 4 miliar dollar AS per hari,” kata Halim.
Anggota Dewan Komisioner LPS Destry Damayanti menambahkan, saat ini LDR valas di kisaran 94 persen. Kendati rasio itu di atas batas atas, namun likuiditas masih terkelola dengan baik karena besaran kredit valas hanya sekitar 14 persen dari total kredit.
Destry menegaskan, kondisi ini jauh berbeda dari krisis 1998. Pada saat itu, kredit valas di atas 50 persen dari total kredit dan likuiditasnya 95 persen.
"Untuk itu, bank perlu selektif dan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit valas. Bank bisa bisa lebih fokus pada sektor produktif dan industri yang kandungan impornya tidak terlalu tinggi," ujar Destry.
Menarik minat
LPS, tambah Destry, juga perlu meningkatkan suku bunga penjamin simpanan valas. Sebab, suku bunga penjaminan sebelumnya kurang menarik minat investor menyimpan valas di bank.
Selain itu, ada kesenjangan yang lebar antara suku bunga penjaminan valas dengan simpanan berjangka BI tenor 1 bulan. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah menyebabkan simpanan berjangka BI, sebagai instrumen operasi moneter untuk valas, berada di level 2,1 persen.
"Bagaimana kita bisa menarik valas jika gapnya jauh dan tidak menarik. Kita harus buat insentifnya lebih menarik dong," kata Destry.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengintensifkan pengawasan penggunaan valuta asing di industri jasa keuangan untuk menjaga likuditas valas.
Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot menyatakan, pemantauan dilakukan secara reguler terhadap seluruh kegiatan industri jasa keuangan, termasuk terkait transaksi valas.
“Pengawasan ketat dan intensif kami lakukan untuk memastikan transaksi valas dilakukan berdasarkan kebutuhan sesuai dengan underlying-nya," ujarnya.