Pertumbuhan Produksi Film Indonesia Meningkat 3,42 Persen
JAKARTA, KOMPAS — Sesuai hasil riset tentang Capaian Makro Subsektor Film, pertumbuhan film nasional pada tahun 2016 mencapai dua digit, yakni 10,1 persen. Meskipun kontribusinya masih belum dibilang besar, hal ini menunjukkan peningkatan 3,42 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Demikian terungkap dalam Indonesia Film Business Outlook 2019 pada 13 September 2018 di Jakarta, seperti siaran pers Badan Ekonomi Kreatif yang diterima Kompas.id, Jumat (14/9/18). Diskusi panel ini mengambil tema ”Hak Kekayaan Intelektual, Pasar, dan Distribusi Penonton serta Bisnis Film di Indonesia”.
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Badan Perfilman Indonesia (BPI) menyelenggarakan kegiatan Indonesia Financing Forum terbesar di Tanah Air, Akatara sejak tahun 2017. Akatara akan hadir kembali tahun ini pada 18-20 September 2018 dengan program yang lebih besar daripada sebelumnya.
Subsektor film, animasi, dan video tercatat sebagai salah satu subsektor ekonomi kreatif dengan laju pertumbuhan paling tinggi. Ternyata 10,96 persen pengusaha/perusahaan di subsektor film, animasi, dan video memiliki pendapatan Rp 2,5 miliar sampai dengan Rp 50 miliar. Dengan angka ini, mereka menempati peringkat kedua dari semua subsektor ekonomi kreatif setelah subsektor periklanan.
Sementara terkait kondisi dan pasar film Indonesia, Bekraf telah melakukan riset bekerja sama dengan rumah sinema kepada 2.000 responden terkait segmentasi dan pengambilan keputusan penonton film. Ada data menarik yang diperoleh, yaitu 59 persen penonton bioskop merupakan mahasiswa S-1 dan 33 persen siswa SMA. Sementara 43 persen penonton bioskop memiliki pendapatan Rp 1 juta-Rp 5 juta. Sebanyak 85 persen penonton di Indonesia menonton bioskop 1-2 kali dalam sebulan. Ada 1 persen yang menonton bioskop lebih dari enam kali dalam satu bulan.
Hasil riset ini juga memperlihatkan beberapa faktor yang memengaruhi keputusan orang menonton film, di antaranya komunikasi pemasaran, sumber informasi, word of mouth (rekomendasi teman, media sosial, dan forum), genre film yang akan ditonton, nama dan popularitas sutradara, sekuel film, asal negara film, popularitas pemain film, karya adaptasi novel, alur, lokasi, akting dan musik, konten-konten yang dihindari (seperti kekerasan dan seks), animasi, efek visual dan tiga dimensi, serta jadwal pemutaran film.
Di samping bioskop, kegiatan menonton semakin terpecah ke banyak saluran, yaitu program televisi gratis, televisi berbayar, situs web gratis, layanan internet berbayar, bioskop alternatif, peer sharing, dan festival film.
Terakhir, riset yang dilakukan terkait tantangan industri perfilman Tanah Air. Indonesia masih harus menghadapi beberapa tantangan, salah satunya pembajakan. Pembajakan ini diindikasikan dilakukan dengan membuat substitusi film asli dalam bentuk fisik, seperti DVD, ataupun nonfisik, seperti saluran daring berbayar dengan streaming gratis. Hasil riset Bekraf dan LPEM terkait dampak pembajakan film menunjukkan, pembajakan tersebut mengakibatkan hilangnya pendapatan pada usaha perfilman berkisar Rp 31 miliar hingga Rp 636 miliar per tahun.
Investor film
Indonesia Financing Forum bertujuan untuk meningkatkan investasi bisnis dan kewirausahaan film di Indonesia kepada pasar film nasional, khususnya calon investor baru. Berbagai bahasan yang diangkat dimaksudkan untuk memperkenalkan peta bisnis, pembiayaan, dan potensi perfilman dalam negeri.
Selain menghadirkan Triawan Munaf sebagai pembicara kunci, pembicara lain dari Bekraf yang hadir adalah Abdur Rohim Boy Berawi (Deputi Riset Edukasi dan Pengembangan Bekraf), Fadjar Hutomo (Deputi Akses Permodalan Bekraf), dan Ari Juliano Gema (Deputi Fasilitasi HAKI dan Regulasi Bekraf).
Diskusi panel ini semakin menarik dengan hadirnya pembicara dari investor yang sudah sukses ataupun pelaku perfilman, seperti Andi S Boediman (Ideosource), Catherine Keng (Cinema XXI), Craig Galvin (Iflix), dan Fauzan Zidni (Aprofi). Peserta yang hadir di antaranya sekitar 30 calon investor lokal dan mancanegara, perwakilan pemerintah (antara lain Pusbang Film, Direktorat Kebudayaan, Balai Pustaka), perusahaan, individu, produser film, pebisnis, dan pengusaha yang berada dalam ruang lingkup ekosistem perfilman Indonesia.
”Melalui kegiatan ini, Bekraf optimistis akan muncul banyak investor baru guna mendorong iklim investasi perfilman Tanah Air lebih stabil dan kuat di masa depan,” ujar Kepala Bekraf Triawan Munaf. ”Untuk itu, pemahaman tentang investasi perfilman harus disampaikan seluas-luasnya dan intensif,” katanya.
Harapan tersebut disampaikan Triawan berdasarkan data riset industri perfilman yang dilakukan Bekraf sebelumnya. Riset yang dilakukan mengenai capaian makro subsektor film, kondisi dan pasar film Indonesia, serta tantangan perfilman yang harus dihadapi.
Sebagai upaya terus mengembangkan potensi perfilman Indonesia, Bekraf bersama berbagai asosiasi dan lembaga telah bersinergi memfasilitasi para pelaku kreatif, khususnya dalam bidang perfilman. Beberapa program yang telah dijalankan berkenaan dengan pengembangan perfilman di antaranya Scara (Skenario Cerita Anak Nusantara), yaitu program pelatihan dan pencarian penulis skenario, Docs by the Sea (forum global yang menghubungkan para pembuat film dokumenter Indonesia dan Asia Tenggara dengan industri dan investor film dokumenter internasional), Torino Film Lab, serta berbagai lokakarya penulisan skenario.
Sementara itu, Ketua Pembiayaan Film dari BPI Agung Sentausa mengatakan, ”Kegiatan ini sangat penting untuk mulai mengembangkan investasi, khususnya pada ekosistem bisnis film, seperti sekolah, festival, kurasi, jasa sewa alat, jasa pascaproduksi, distribusi, dan inisiasi platform digital, untuk memaksimalkan potensi perfilman nasional yang relevan dengan situasi zaman.”
BPI merupakan mitra penting Bekraf dalam mendorong penciptaan ekosistem perfilman yang positif, termasuk melalui penyelenggaraan Akatara 2018. BPI selama ini telah melakukan inisiatif fasilitasi perfilman melalui berbagai bidang kerja yang dimiliki, baik yang bersifat advokasi, pendidikan, kegiatan perfilman, maupun promosi.