JAKARTA, KOMPAS -Gejolak eksternal yang paling sulit dikalkulasi dampaknya terhadap ekonomi dalam negeri adalah perang dagang antara AS dan China. Perang dagang itu memicu aksi retaliasi antara satu negara dengan yang lain. Selain itu, dampak dari krisis ekonomi Turki dan Argentina juga masuk radar pengamatan BI.
"Permasalahan di Turki dan Argentina adalah bagian yang terus kita amati. Dua kondisi eksternal itu bisa dikatakan belum berakhir dan punya potensi berpengaruh terhadap mata uang di negara berkembang," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo di Jakarta, Jumat (14/9/2018).
Bank Indonesia tetap mengawasi faktor eksternal meskipun rupiah menunjukkan tanda-tanda penguatan. Kombinasi kebijakan moneter, termasuk intervensi pasar, terus dilakukan untuk menjaga nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Berdasarkan kurs nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), Jumat (14/9/2018), rupiah berada di level Rp 14.835 per dollar AS. Sehari sebelumnya, Kamis, rupiah menyentuh level Rp 14.794 per dollar AS.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan, kendati ada dalam tren menguat, namun nilai tukar rupiah saat ini belum sesuai fundamennya. Upaya melindungi nilai tukar rupiah dari tekanan global dilakukan lewat rencana intervensi ganda serta mempertimbangkan opsi kenaikan suku bunga acuan.
“Kami memandang intervensi masih dibutuhkan karena rupiah masih belum stabil dan akan sangat mudah bergejolak jika mendapat tekanan global,” ujar Dody di Jakarta.
Intervensi ganda BI dilakukan di pasar valuta asing dan pasar Surat Berharga Negara (SBN). Caranya, Bank Indonesia membeli SBN yang dilepas investor asing di pasar sekunder.
Penguatan nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir disebabkan tekanan ekonomi global yang mereda dan pelemahan nilai tukar dollar AS. Berkurangnya tekanan global berhasil membawa modal asing kembali masuk ke Tanah Air.
“Dalam beberapa hari sudah ada aliran modal masuk di instrumen keuangan seperti SBN dan SBI (Sertifikat Bank Indonesia), dan ini artinya positif,” kata Dody.
Sepanjang 2018, BI sudah menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Reserve Repo Rate sebanyak empat kali, hingga mencapai 1,25 persen. Upaya intervensi guna stabilisasi nilai tukar rupiah telah menggerus cadangan devisa sejak akhir 2017 hingga Agustus 2018 sebanyak 12,3 miliar dollar AS.
Dody mengatakan BI masih mempertimbangkan opsi kenaikan suku bunga acuan di September 2018 dengan menyesuaikan terhadap perkembangan data ekonomi terbaru. BI akan menggelar rapat dewan gubernur (RDG) untuk memutuskan kebijakan terbaru pada 26-27 September 2018.
“Kami akan tunggu announcement dari The Fed. RDG kami lakukan pada minggu keempat September, kami sudah tahu posisi Fed Fund Rate," ujarnya.
Analis dan Pendiri LBP Institute Lucky Bayu Purnomo menilai, kenaikan suku bunga acuan BI seharusnya dapat dibatasi sesuai situasi ekonomi dalam negeri. Ia menilai, kenaikan suku bunga bisa bisa membuat pelaku usaha menahan ekspansi.
“Jika ekspansi ditahan, maka target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 di angka 5,3 persen yang dicanangkan pemerintah akan sulit tercapai,” ujar Lucky.
Situasi di Indonesia, lanjut Lucky, berbeda dengan AS yang dinilai wajar secara agresif menaikkan suku bunga acuan bank sentral. Sebab, langkah itu ditunjang pertumbuhan ekonomi AS yang mencapai 4,2 persen pada triwulan II-2018. (DIM)