JAKARTA, KOMPAS--Devisa hasil ekspor dapat menopang penguatan rupiah di tengah gejolak ekonomi global. Oleh karena itu, pemerintah berencana memperpanjang jangka waktu pemberian insentif pajak agar devisa hasil ekspor bisa bertahan lama di dalam negeri.
Berdasarkan data Bank Indonesia yang dikutip Kompas pada Minggu (16/9/2018), devisa hasil ekspor pada Januari-Juni 2018 sebesar 69,88 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, yang masuk ke dalam negeri sekitar 92,6 persennya atau 64,74 miliar dollar AS. Namun, hanya 13,3 persen di antaranya yang dikonversikan ke rupiah.
Saat ini insentif pajak devisa ekspor diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26 Tahun 2016 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia. Devisa ekspor yang disimpan dalam bentuk deposito akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) sesuai jangka waktu penempatannya.
PPh atas bunga deposito dalam dollar AS berkisar 0-10 persen, tergantung jangka waktu penempatannya. Adapun devisa ekspor dalam deposito rupiah dikenakan tarif 0-7,5 persen.
Semakin lama devisa ekspor bertahan di dalam negeri, PPh akan semakin kecil.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan, pemerintah akan mengevaluasi PMK Nomor 26 Tahun 2016 tersebut karena dinilai tidak efektif. Sejauh ini, insentif pajak dinilai belum menarik sehingga hanya dimanfaatkan segelintir eksportir.
Salah satu keluhan mereka terkait perpanjangan pemberian insentif.
“PMK kurang menarik. Untuk itu akan kami perbaiki supaya perpanjangan bisa otomatis didapatkan,” kata Robert, akhir pekan lalu, di Jakarta.
Di tengah gejolak ekonomi global, Indonesia membutuhkan tambahan cadangan devisa untuk membiayai utang dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Dalam berbagai pertemuan, pelaku usaha diminta menyimpan devisa ekspor lebih lama di dalam negeri dan mengkonversinya ke rupiah.
Per Jumat (14/9/2018), nilai tukar berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate Rp 14.835 per dollar AS. Adapun cadangan devisa RI per 31 Agustus 2018 sebesar 117,927 miliar dollar AS.
Belum cocok
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, insentif pajak yang diberikan pemerintah belum cocok dengan kebutuhan eksportir sehingga tidak digunakan optimal. Semakin lama devisa ekspor disimpan di dalam negeri, maka keuntungan yang diperoleh eksportir seharusnya lebih tinggi atau biaya pengeluarannya menjadi lebih rendah.
“Tarif yang diberikan bisa lebih rendah atau tidak sama sekali, termasuk jangka waktu yang diperpanjang atau diperpendek,” kata Yustinus.
Menurut dia, pemerintah harus bergerak cepat menyelesaikan aturan devisa hasil ekspor agar tidak menimbulkan kesan pembiaran terhadap risiko krisis. Sebab, pasokan dollar AS sangat dibutuhkan untuk menopang penguatan dan stabilitas nilai tukar rupiah. Revisi peraturan diperlukan, tetapi tidak membuat pasar dan pelaku usaha panik.
Secara terpisah, Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan, sejauh ini pemerintah dan BI tidak berencana mengganti atau merevisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Indonesia menganut rezim devisa bebas, tidak seperti Malaysia dan Thailand yang melakukan pengendalian ketat terhadap devisa hasil ekspornya.
“Eksportir tidak diharuskan menyimpan atau mengonversi devisa ekspor dalam jumlah atau waktu tertentu,” kata Dody.
Menurut Dody, eksportir dapat menempatkan devisa ekspor dalam instrumen tukar-menukar (swap) melalui perbankan dengan jangka waktu 6,9, dan 12 bulan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan, sejumlah negara menerapkan kebijakan yang cukup ketat dalam mengatur devisa hasil ekspor dan arus modal keluar. (KRN)