JAKARTA, KOMPAS --Investor pasar modal meyakini tekanan ekonomi di Tanah Air hanya sementara. Dengan berinvestasi jangka panjang, investor optimistis dapat menikmati pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sejauh ini, untuk alokasi investasi jangka menengah dan panjang, saham masih menarik. Pada perdagangan Senin (17/9/2018), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup pada posisi 5.824,257.
“Koreksi saham justru memberi kesempatan bagi investor jangka panjang untuk membeli saham atau reksa dana saham dengan valuasi yang lebih murah,” ujar Head of Investment Avrist Asset Management, Tubagus Farash Akbar Farich.
Pendiri komunitas Investor Saham Pemula (ISP) sekaligus penulis buku #YukBelajarSaham untuk Pemula. Frisca Devi Choirina, juga sepakat untuk memanfaatkan momentum volatilitas IHSG untuk membeli saham.
“Saat ini investor lokal sudah semakin cerdas, tahu mana situasi krisis, mana bukan. Menurut kami, situasi ini masih aman terkendali,” ujarnya.
Frisca menilai, volatilitas IHSG saat ini memang lebih parah dibandingkan dengan momentum krisis Yunani pada 2015. Namun, berdasarkan pengalaman tersebut, dia yakin IHSG akan segera pulih kembali.
Perencana Keuangan OneShildt Financial Planning, Budi Raharjo, menyarankan investor untuk menghindari instrumen berisiko tinggi seperti saham dan obligasi untuk kebutuhan investasi jangka pendek dan menengah.
Aset safe haven seperti emas, lanjutnya, juga dapat dimanfaatkan. Pamor emas dinilai meningkat seiring perang dagang yang tensinya meningkat akhir-akhir ini. Investor pun berpotensi memperoleh keuntungan dari kenaikan harga emas.
Budi memperkirakan, harga emas masih akan tumbuh stabil karena permintaan terus meningkat. “Kalau ada kebutuhan dalam jangka waktu dekat, seperti satu hingga dua tahun ke depan, instrumen emas bisa jadi pengaman investasi dalam kondisi saat ini,” ujarnya.
Harga emas batangan di laman logammulia milik PT Antam (Persero) Tbk sebesar Rp 656.000 per gram, Senin. Adapun pembelian kembalinya seharga Rp 569.000 per gram.
Diversifikasi
Di tengah ketidakpastian perekonomian global, investor domestik tidak menempatkan dana dalam satu instrumen investasi. Investor memilih beragam instrumen untuk mengantisipasi risiko jangka panjang.
Salah satu instrumen yang menarik adalah Surat Berharga Ritel (SBR) Ritel.
Pegawai swasta asal Jakarta, Lutfiantoro Hutomo (26), membeli Surat Berharga Ritel 004 (SBR 004) melalui bank pada Agustus 2018. Pembelian SBR ini merupakan pengalaman pertamanya berinvestasi di surat berharga negara. Ia memilih instrumen ini karena penawaran kuponnya 8,05 persen dengan tenor 2 tahun. Pembelian bisa dilakukan melalui dalam jaringan. Lutfi berinvestasi Rp 20 juta dalam SBR 004.
“Minimum investasi bisa mulai dari Rp 1 juta, terjangkau oleh kalangan milenial. Risiko investasi juga rendah karena ditanggung pemerintah,” kata Lutfi yang juga berinvestasi di reksa dana dan properti.
Menurutnya, investasi dalam bentuk surat utang atau reksa dana lebih menarik bagi milenial. Instrumen ini dinilai mudah dan sederhana karena investor hanya membeli atau menyimpan dananya. Padahal, kamu muda cenderung menghindari produk investasi yang butuh perlakuan khusus atau biaya tambahan. (DIM/KRN)