ENNY SRI HARTATI Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance
·4 menit baca
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah telah membuat suhu perekonomian memanas. Kendati dalam seminggu terakhir tekanan mulai mengendur, bukan berarti badai sudah berlalu. Pasalnya, potensi dan sumber goncangan pemicu pelemahan rupiah masih terus menghadang. Dari sisi eksternal, setidaknya Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau the Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi. Normalisasi kebijakan AS dikhawatirkan akan membuat banyak modal asing keluar dari Indonesia. Belum lagi dampak dari perang dagang AS dan China yang berimplikasi pada penurunan berbagai harga komoditas. Ekspor komoditas Indonesia pasti mendapat tantangan yang tidak ringan. Alhasil, risiko defisit neraca perdagangan sukar dielakkan.
Potensi fluktuasi nilai tukar, besar kemungkinan, tidak hanya bersifat temporer, bahkan akan masih membayangi perekonomian 2019. Artinya, perjalanan terjal dan penuh onak masih cukup panjang. Dibutuhkan kesiapan perekonomian untuk mengantisipasi dan memitigasi berbagai sumber gejolak itu. Ibarat pertandingan lari maraton, harus mampu menjaga stamina agar tidak kendur sampai finis. Tidak hanya mampu menunjukkan keunggulan di awal pertandingan, namun harus memiliki strategi agar mampu menjaga ketahanan perekonomian setidaknya sampai 2019.
Apalagi, sejak awal pertarungan, tekanan psikologis dan sentimen negatif telah melanda investor. Efek dari tapertantrum mengakibatkan portofolio yang kembali ke AS cukup besar. Akibatnya, Argentina dan Turki menjadi korban pertama, memasuki krisis ekonomi. Pada awal September, Peso Argentina terjun bebas, terdepresiasi hingga -51,67 persen dibandingkan posisi akhir 2017, disusul Lira Turki -43,85 persen. Rupiah hanya terdepresiasi 8,01 persen, masih lebih parah rupee India yang mencapai -9,7 persen. Bedanya rasio cadangan devisa India 390 persen dari utang luar negerinya. Sekalipun pada triwulan I-2018, defisit transaksi berjalan India juga -2,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara, defisit neraca transaksi berjalan Argentina telah mencapai -4,7 persen PDB dan Turki -5,9 persen PDB, dengan rasio cadangan devisa terhadap utang luar negeri di bawah 100 persen.
Meskipun pemerintah masih mengklaim tingkat depresiasi Rupiah aman, namun pada Januari-Juli 2018, defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai 3,09 miliar dollar AS. Tekanan defisit perdagangan terutama dari lonjakan impor yang drastis, mencapai 24,48 persen, dengan total impor menembus 107 miliar dollar AS. Sementara, ekspor hanya 104 miliar dollar AS atau tumbuh 11,35 persen.
Dengan performa sektor yang terkait dengan transaksi luar negeri tersebut, wajar jika sektor keuangan Indonesia dinilai cukup rentan. Para investor dan pelaku pasar keuangan khawatir Indonesia akan kembali terancam efek menular dari krisis ekonomi Argentina dan Turki.
Belajar
Oleh karena itu, membangun narasi bahwa kondisi ekonomi Indonesia berbeda dengan kondisi menjelang krisis 1997/1998 saja tidak cukup. Bisa jadi potensi atau risiko krisis ekonomi memang kecil. Persoalannya, kendati terhindar dari jebakan krisis, mampukah Indonesia keluar dari ketergantungan pada dominasi kekuatan asing dan negara-negara besar? Mestinya Indonesia belajar dari Thailand yang mampu bangkit dan memperkokoh fundamen ekonominya pasca menjadi pusat epicentrum krisis nilai tukar baht pada 1997/1998. Kini cadangan devisa Thailand 203 miliar dollar AS. Nilai tukar di level 32 baht per dollar AS. Menurut Bloomberg, Baht merupakan nilai tukar terbaik di antara 22 negara berkembang.
Thailand menggenjot ekspor dan turis asing untuk meraup devisa. Thailand menjadi pilihan bagi investasi asing langsung (FDI) dan menjadi basis produksi berbagai produk global.
Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2018 terkait pembatasan impor 1.147 item barang konsumsi. Mengendalikan impor barang konsumsi memang merupakan keniscayaan. Apalagi, yang relatif sangat kecil dampaknya terhadap produktivitas perekonomian.
Menurut Badan Pusat Statistik, kontribusi total impor barang konsumsi hanya sekitar 9,23 persen. Efektifitas kebijakan tersebut harus dikalkulasi secara matang, jangan berujung kontraproduktif. Jika salah perhitungan, Indonesia dituduh semakin proteksionis dan memungkinkan kena ancaman retaliasi dari negara tujuan ekspor Indonesia. Mestinya, pengendalian impor melalui instrumen perpajakan dilakukan secara selektif, fokus pada produk yang impornya meningkat secara drastis dan nilainya sangat besar.
Lonjakan impor terbesar untuk pemenuhan proyek infrastruktur, misalnya proyek pembangkit listrik. Impor mesin dan pesawat mekanik, mesin dan peralatan listrik, serta dan besi baja, yang total nilainya 32,9 miliar dollar AS. Jika impor barang-barang tersebut mampu dikendalikan melalui upaya penundaan proyek yang tidak urgen, peningkatan komponen dalam negeri (TKDN) dan substitusi impor akan signifikan mengendalikan impor. Jika asumsi mampu dihemat 30 persen, maka impor dapat ditekan sekitar 9,8 miliar dollar AS. Jauh lebih besar dari potensi pengendalian 1.147 komoditas impor yang sekitar 5 miliar dollar AS.
Sekalipun demikian, upaya pengendalian impor barang konsumsi tetap prioritas dilakukan. Terutama, untuk meningkatkan utilitas produksi dan memperkuat daya saing industri dalam negeri, terutama momentum melakukan substitusi impor.
Untuk tetap menjaga ketahanan ekonomi, kuncinya sumber utama pertumbuhan ekonomi dalam negeri, terutama konsumsi rumah tangga dan produktivitas nasional, harus tetap dijaga.
ENNY SRI HARTATI
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance