Pemerintah telah membuat kebijakan menaikkan tarif impor pajak penghasilan (PPh) untuk mengendalikan impor berbagai produk. Dengan kebijakan itu, diharapkan pelaku usaha dapat mengurangi produk impor dan mencari produk substitusi di dalam negeri. Defisit transaksi berjalan, yang antara lain dipicu impor yang besar, diharapkan dapat berkurang.
Di sisi ekspor, pemerintah sebenarnya dapat menerapkan kebijakan yang tak jauh berbeda untuk meningkatkan ekspor, terutama ekspor produk yang berpeluang besar dan berkontribusi untuk menarik devisa.
Kebijakan yang dapat dilakukan adalah mengurangi pungutan ekspor produk minyak kelapa sawit yang saat ini sebesar 50 dollar AS per ton untuk sementara waktu. Dengan mengurangi pungutan ekspor, harga produk minyak sawit dan turunannya menjadi lebih murah. Selanjutnya, dapat lebih bersaing dengan produk minyak nabati lain di negara tujuan ekspor, seperti India.
Upaya menggenjot ekspor, terutama untuk produk minyak sawit, sangat penting saat pasar sedang membutuhkan produk itu dalam jumlah besar. Apalagi, perkembangan ekspor minyak sawit pada semester I-2018 kurang menggembirakan.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), volume ekspor produk minyak kelapa sawit dan turunannya pada semester I-2018 sebanyak 15,3 juta ton atau turun 2 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017 yang sebesar 15,62 juta ton.
Penurunan ekspor antara lain terjadi di pasar India. Volume ekspor produk minyak sawit dan turunannya pada semester I-2018 ke India sebanyak 2,5 juta ton atau turun 34 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017 sebanyak 3,74 juta ton.
Ekspor turun, antara lain karena India mengenakan tarif bea masuk yang tinggi terhadap produk minyak sawit yang diimpor, yaitu kurang lebih 50 persen.
Di pasar Eropa, ekspor produk minyak sawit dan turunannya juga merosot 12 persen, dari 2,71 juta ton pada semester I-2017 menjadi 2,39 juta ton pada semester I-2018. Pertumbuhan ekspor minyak sawit dan turunannya terjadi di pasar China, yaitu dari 1,48 juta ton pada semester I-2017 menjadi 1,82 juta ton ada semester I-2018.
Upaya meningkatkan ekspor produk minyak sawit sebenarnya masih terbuka, terutama di pasar India. Jika pungutan ekspor dikurangi, maka harga produk sawit dan turunannya yang sudah terkena tarif bea masuk yang tinggi, bisa menjadi lebih rendah di India. Jika pungutan ekspor dikurangi, setidaknya masih ada waktu kurang lebih 3 bulan untuk menggenjot ekspor produk sawit.
Pungutan ekspor sebagai instrumen tarif dan instrumen perdagangan bisa fleksibel. Artinya, besaran pungutan ekspor dapat dikurangi sementara waktu untuk menggenjot pasar ekspor, apalagi saat peluang masih besar.
Besaran pungutan ekspor yang bisa dikurangi dapat dihitung pemerintah, misalnya 10 dollar AS sampai dengan 20 dollar AS per ton. Pengurangan pungutan ekspor itu dapat meningkatkan volume ekspor sehingga perolehan devisa dapat lebih besar.
Jika pungutan ekspor tidak dikurangi, upaya menggenjot ekspor produk sawit semakin sulit. Kinerja ekspor produk sawit dan turunannya pada akhir 2018 bisa kurang memuaskan.
Sebagai catatan, ekspor produk sawit dan turunannya pada Januari-Juli 2018 sebesar 18,52 juta ton atau hanya naik 2 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017 yang sebanyak 18,15 juta ton.
Dengan demikian, kinerja ekspor bisa menjadi kurang menggembirakan pada akhir tahun jika tak ada terobosan untuk meningkatkan ekspor secara lebih signifikan.
Total ekspor produk sawit dan turunannya pada 2017 sebesar 31,05 juta ton dengan nilai 22,96 miliar dollar AS. Bagaimana dengan tahun ini? (Ferry Santoso)