JAKARTA, KOMPAS — Operator bandar udara PT Angkasa Pura II (Persero) menandatangani kerja sama dengan Pembiayaan Investasi Non-anggaran Pemerintah untuk membiayai peningkatan dan pembangunan 11 bandara yang dikelolanya. Dalam kerja sama itu, PINA akan membantu AP II mencarikan sumber-sumber dana bagi pembangunan.
”Kami membutuhkan dana Rp 4,7 triliun untuk membiayai pembangunan 11 bandara. Namun, dalam jangka pendek, kami membutuhkan Rp 1,7 triliun untuk membangun empat bandara,” kata Direktur Utama Angkasa Pura (AP) II Muhammad Awaluddin seusai penandatanganan nota kesepahaman dengan PINA di Jakarta, Rabu (19/9/2018).
Keempat bandara yang akan dibangun adalah Bandara Tjilik Riwut (Palangkaraya), Bandara Hanandjoeddin (Belitung), Bandara Fatmawati Soekarno (Bengkulu), dan Bandara Radin Inten II (Lampung). Semua bandara tersebut akan diserahkan pengelolaannya dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) kepada AP II melalui skema kerja sama pemanfaatan (KSP).
Awaluddin menjelaskan, kerja sama dengan PINA merupakan alternatif baru mencari sumber pendanaan. Hingga tahun 2017, AP II hanya mempunyai dua alternatif pembiayaan, yakni membiayai sendiri dan penyertaan modal negara. Namun, sekarang ada beberapa cara untuk membiayai pembangunan.
Menurut Awaluddin, setidaknya ada lima cara baru membiayai pembangunan. Satu, Kerja Sama Pemanfaatan (KSP) aset milik negara. Kedua, kerja sama dengan badan usaha, seperti mengelola Bandara Hang Nadim di Batam, AP II akan bekerja sama dengan BP Batam. Ketiga, kerja sama dengan pemerintah daerah, seperti di bandara Banyuwangi. Keempat, kerja sama dengan badan usaha milik daerah, seperti Bandara Kertajati. Kelima, dengan swasta, seperti di Bintan.
”Sekarang AP II akan didukung PINA. Jadi, walaupun ada tujuh skema pembiayaan, ujungnya tetap investasi. Dan, PINA membantu mencarikan sumber-sumber dana,” ujarnya.
CEO PINA Ekoputro Adijayanto menambahkan, pihaknya berperan sebagai akselerator pembiayaan investasi nonanggaran pemerintah. Sebab, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dibutuhkan dana untuk pembangunan infrastruktur setidaknya Rp 4.700 triliun dan 60 persen di antaranya bersumber dari dana non-APBN, baik yang bersumber dari BUMN maupun swasta.
”Karena itu, diperlukan unit yang mengakselerasi pembiayaan non-APBN dan investornya bisa datang dari mana-mana. Kami bukan penyedia investasi, melainkan kami menggalang investasi. Jadi kami itu sebagai fasilitator,” ungkap Eko.
Terkait rencana investasi pengembangan bandara-bandara AP II, Eko menyebutkan, terdapat beberapa investor yang potensial untuk diajak bekerja sama, terutama lembaga-lembaga pengelola dana pensiun atau perusahaan asuransi, baik yang berskala global maupun nasional.
Adapun untuk model kerja samanya, terang Eko, pihaknya akan mendalami model kemitraan terbaik dan saling menguntungkan antara AP II dan investor. Salah satu opsinya adalah dengan membentuk anak perusahaan.