Memproduksi ”Maggot”, Hemat Devisa
Harga pakan ikan dan ternak yang makin mahal memicu kreativitas warga Desa Wargakerta, Tasikmalaya. Seorang warga mengembangkan koloni belatung untuk bahan pakan ikan dan ternak. Ikan lebih cepat besar dan harga pakan lebih murah.
Sumber utama pakan ternak dan ikan berupa protein/tepung ikan yang selama ini diimpor sebenarnya tersedia di perdesaan. Masalahnya, saat diperlukan dalam skala besar, bahan konsentrat kerap tidak tersedia. Lewat inovasi yang kreatif, warga Desa Wargakerta, Tasikmalaya, Jawa Barat, membuat solusi.
Aditya Abdillah (40), Ade Sudrajat (45), dan Jajang Hermawan (50) mendadak mendapat semangat baru dalam melakukan budidaya ikan. Padahal, harga pakan ikan baru saja naik dari Rp 275.000 menjadi Rp 300.000 per karung isi 30 kilogram akibat nilai kurs rupiah terkoreksi oleh dollar AS hingga mendekati Rp 15.000 per dollar AS.
Rupanya petani ikan tawar warga Desa Wargakerta, Kecamatan Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya, itu menemukan pakan organik bagi ikan-ikan peliharaannya. Sumber protein itu adalah koloni belatung (maggot) hasil kreativitas Aditya dan kawan-kawan yang melakukan uji coba pada ikan gurami.
”Kami tengah memperluas uji coba pakan organik untuk ikan mas dan ikan nila,” ujar Aditya dan Jajang di kolam ikan Kampung Babakan, Desa Wargakerta, Rabu (12/9/2018).
Selama ini, petani ikan dan peternak ayam di desa itu menggunakan pakan pelet yang berbahan baku impor dari toko.
Harga pakan produksi industri besar itu sering naik karena mengikuti nilai kurs dollar AS. Selama ini, usaha perikanan dan ayam mengalami ketidakadilan. Sebagai produsen, petani tidak bisa menentukan harga jual produknya.
”Beberapa bulan lalu, kolam kami diserang hama penyakit yang mematikan ikan gurami. Akibatnya, ikan gurami dijual muda dengan harga sangat murah, Rp 10.000 per kilogram,” ujar mereka.
Sepetak kolam seluas 700 meter persegi yang diisi 500 ikan gurami setiap minggu butuh satu karung pakan isi 30 kilogram. Selama 15 bulan, ikan gurami itu bisa dipanen menjadi 5 kuintal dengan bobot rata-rata 1 kilogram per ekor jika tingkat kematian di bawah 5 persen. Harga ikan gurami konsumsi pada pertengahan September lalu berkisar Rp 40.000-Rp 45.000 per kilogram.
Pertumbuhannya cepat
Selain pakan pelet, petani ikan kerap menambahkan pakan hijauan berupa daun sente (daun talas besar) untuk gurami. Tahun lalu, Aditya mencoba mengganti pakan pelet itu menggunakan koloni belatung yang kadar proteinnya sampai 45 persen. Hasilnya ternyata lebih baik dibandingkan dengan pelet toko karena pertumbuhan ikan lebih cepat.
”Dengan pakan belatung yang harganya Rp 5.000 per kilogram, dalam setahun berat ikan gurami bisa mencapai 8 ons sampai 1 kilogram. Ini menghemat waktu selama tiga bulan,” ujar Mang Adit, panggilan akrab Aditya. Dari sisi biaya, tiga bulan berarti 12 minggu sehingga penghematannya 12 x Rp 300.000 = Rp 3.600.000.
Dengan harga koloni belatung Rp 5.000 x 30 kilogram, kebutuhannya hanya Rp 150.000 per minggu selama 12 bulan. Jadi, penghematannya (52 minggu x Rp 150.000) Rp 7.800.000 + Rp 3.600.000 = Rp 11.400.000 selama satu siklus budidaya. Keuntungan lain adalah tingkat kematiannya kecil atau di bawah 2 persen karena ikan menjadi tahan penyakit.
Air kolam juga tidak tercemar sisa pakan karena koloni belatung adalah jenis pakan organik. ”Dengan pelet toko, airnya kolam menjadi bau karena tercemar sisa pakan yang menggunakan bahan pengawet,” ujar Jajang.
Persoalannya, bisakah koloni belatung diproduksi dalam skala besar untuk memenuhi kebutuhan petani?
Lewat kerja keras selama beberapa tahun, Aditya dan kawan-kawan berhasil melakukan budidaya belatung dari jenis lalat tentara hitam (Hermetia illucens). Lalat ini salah satu jenis yang banyak ditemukan di tempat-tempat sampah organik. Larvanya memanfaatkan sampah sebagai sumber makanan.
Koloni lalat tentara hitam itu diambil telurnya, ditetaskan selama tiga hari, dan dipanen pada umur lima hari sejak menetas. Setelah ditetaskan masuk ke bak pembesaran selama 12 hari, baru dipanen sebagai ribuan belatung. Makanan koloni belatung ini adalah limbah roti dan sampah organik.
Hasil kreativitas itu lalu disampaikan kepada pihak desa agar bisa dikembangkan menjadi produksi massal. Pihak desa menyetujui dengan membangun pabrik pakan ternak berbahan belatung. April 2018 dimulai pembangunan pabrik senilai Rp 208 juta dan Aditya diangkat menjadi Manajer Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Wargakerta.
Pendampingan akademisi
Kini, BUMDes Wargakerta sudah memiliki pabrik berukuran 15 meter x 10 meter dengan 24 bak pembesaran koloni belatung. Hasil akhirnya adalah belatung segar rata-rata 2 ton dalam sebulan yang dikelola oleh enam pekerja. Pasarnya adalah warga setempat, yakni petani ikan seperti Ade Sudrajat dan Jajang Hermawan serta para peternak ayam, baik ayam petelur maupun ayam pedaging.
Sebagai alumnus Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Aditya menyampaikan penemuannya kepada almamaternya. Pelaporan itu dimaksudkan agar bisa dilakukan uji laboratorium terhadap nutrisi pakan tersebut. ”Kami ingin uji laboratorium untuk mendapat kepastian kandungan protein belatung. Lalu komposisi nutrisinya seperti apa yang diperlukan untuk pakan,” ujar Aditya.
Pakan ternak dan ikan butuh sumber energi serta vitamin sehingga harus ada tambahan komposisi dari bahan lain.
Melalui lembaga Direktorat Riset, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Inovasi, mantan Rektor Unpad Ganjar Kurnia merespons keinginan warga Wargakerta. Hasil kunjungan tim Unpad yang dipimpin I Made Joni menyatakan, kreativitas yang dilakukan warga Desa Wargakerta layak didampingi oleh Unpad. Hasilnya bisa langsung dinikmati oleh masyarakat.
Kegiatan BUMDes bisa menyerap tenaga kerja dan menambah pendapatan asli desa. Pabrik pakan berbasis koloni belatung itu bisa memunculkan unit-unit lain, terutama budidaya perikanan dan ternak ayam. Tim Laboratorium Unpad sudah siap melakukan kajian terhadap nutrisi. Kegiatan itu dilandasi nota kesepahaman agar kegiatan tersebut menjadi resmi.
Inovasi ini merupakan hasil kreativitas masyarakat. Dengan didampingi akademisi, produk akhir pakan diharapkan bisa mendapatkan komposisi ideal untuk berbagai budidaya, terutama ternak ayam dan ikan yang sudah memasyarakat di perdesaan. Pada gilirannya, hal ini menghemat devisa karena impor bahan pakan ternak dan ikan bisa digantikan.