JAKARTA, KOMPAS--Kinerja perdagangan nonmigas Indonesia perlu diperbaiki karena sudah terkena dampak ketidakpastian perekonomian global. Lonjakan impor bahan baku atau penolong dan barang modal masih belum mampu meningkatkan kinerja ekspor nonmigas.
Di tengah perang dagang Amerika Serikat-China yang tekanannya semakin kuat, Indonesia memiliki celah untuk meningkatkan ekspor. Akan tetapi, upaya itu tidak mudah dilakukan, karena negara-negara lain yang memiliki produk sama dengan Indonesia juga akan memanfaatkan celah tersebut.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertema “Perang Dagang AS-China: Peluang dan Antisipasi” di Kementerian Perdagangan (Kemendag) Jakarta, Selasa (18/9/2018). Kepala Bidang Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Kiki Verico, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kasan, serta Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono, hadir sebagai pembicara diskusi.
Kiki mengatakan, dampak perang dagang AS-China belum begitu terasa. Namun, sebenarnya kinerja ekspor nonmigas Indonesia sudah terpukul, sehingga perlu diperbaiki. Impor bahan baku atau penolong dan barang modal yang cukup besar tetap perlu dicermati. Terutama, sejauh mana impor itu dapat meningkatkan ekspor.
“Perlu dilihat seberapa besar kontribusi perusahaan-perusahaan yang mengimpor mesin-mesin dan bahan baku untuk meningkatkan ekspor. Idealnya, impor harus efisien dan ekspornya harus naik. Investasi yang terjadi saat ini tidak berjalan optimal untuk meningkatkan ekspor,” ujar Kiki.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Agustus 2018 defisit 4,08 miliar dollar AS. Kinerja ekspor nonmigas merosot dan tidak mampu menutup defisit sektor migas. Pada Januari-Agustus 2018, surplus neraca perdagangan nonmigas 4,26 miliar dollar AS, lebih rendah dibandingkan dengan surplus Januari-Agustus 2017 yang sebesar 14,464 miliar dollar AS.
Sementara, nilai impor barang konsumsi, bahan baku atau penolong, dan barang modal pada Januari-Agustus 2018 sebesar 124,18 miliar dollar AS. Nilai itu meningkat 24,52 persen dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar 99,73 miliar dollar AS.
Celah perang dagang
Kasan mengemukakan, Indonesia tetap berpeluang meningkatkan ekspor dengan memanfaatkan celah perang dagang AS-China. Dengan peningkatan tarif yang dilakukan AS atau China, peluang ekspor AS ke China diperkirakan turun 7,9 miliar dollar AS. Adapun peluang ekspor China ke AS diperkirakan turun 5,3 miliar dollar AS.
Indonesia bisa mengisi pasar AS yang sebelumnya diisi China, terutama produk dari besi, baja, dan aluminium. Indonesia juga dapat mengisi pasar China yang sebelumnya diisi AS dengan produk buah-buahan, benda dari besi-baja, dan aluminium.
“Peluang itu dapat kita ambil, tetapi ada catatannya, yaitu kita harus bersaing dengan negara-negara di ASEAN yang memproduksi produk yang sama dengan Indonesia. Negara-negara itu seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand,” kata Kasan.
Sementara, Iman Pambagyo mengemukakan, pemerintah memperkuat diplomasi perdagangan secara bilateral dan multilateral untuk mendorong eskpor. Peningkatan akses pasar ekspor dilakukan dengan cara mempercepat perundingan melalui perjanjian perdagangan bebas, tarif preferensial, dan kerja sama ekonomi komprehensif.
Handito berharap pemerintah dan Kadin bekerja sama untuk meningkatkan jumlah eksportir.
Secara terpisah, Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Perkasa Roeslani menyampaikan, ada risiko yang mesti diantisipasi terkait perang dagang AS-China, yakni kemungkinan produk China membanjiri pasar. "Kita perlu waspada karena bersentuhan dengan sektor manufaktur domestik," ujarnya. (HEN/CAS)