JAKARTA, KOMPAS -- Pemerintah mendesak percepatan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil atau ISPO. Namun, sejumlah pelaku usaha menilai aturan masih tumpang tindih sehingga menghambat mereka dalam proses sertifikasi.
Sepanjang tahun 2011-2018, Kementerian Pertanian mencatat, lahan yang bersertifikasi ISPO seluas 2,349 juta hektar atau 20,48 persen dari keseluruhan lahan kelapa sawit. Sementara produksi minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) bersertifikasi ISPO tercatat 10,2 juta ton atau sekitar 26,99 persen total produksi.
Melihat lambatnya pertambahan sertifikat ISPO yang terbit, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang meminta perusahaan-perusahaan kelapa sawit segera mengajukan permohonan. Sebab, sertifikasi ISPO wajib bagi seluruh perusahaan di bidang perkelapasawitan. Dengan kata lain, seluruh perusahaan harus bersertifikasi ISPO.
Selain itu, saat ini kelapa sawit Indonesia mendapatkan sentimen negatif, terutama dari pasar Uni Eropa. "Di tengah terpaan sentimen negatif ini, ISPO menjadi instrumen untuk menunjukkan kepada dunia internasional, Indonesia memiliki tata kelola kelapa sawit yang baik, ramah lingkungan, dan berorientasi pada kemakmuran rakyat," kata Bambang di Jakarta, Selasa (18/9/2018).
Tumpang tindih
Senada dengan Bambang, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono menambahkan, ISPO menunjukkan komitmen negara untuk menjaga prinsip keberlanjutan dalam setiap proses industri kelapa sawit yang terdiri dari penanaman, pengelolaan lahan, hingga pengolahan hasil. Namun, pengusaha masih kesulitan memenuhi syarat dalam pengajuan ISPO karena tumpang-tindih aturan.
Menurut Joko, dari 693 perusahaan anggota GAPKI, sebanyak 37 persen sudah bersertifikasi ISPO dan 6 persen masih dalam proses sertifikasi. Sisanya belum bersertifikasi ISPO.
Tumpang-tindih yang paling kentara, menurut Joko, berada di bidang legalitas lahan. Joko mencontohkan, sejumlah perusahaan yang sudah memiliki sertifikat hak guna usaha (HGU) selama puluhan tahun tidak bisa memenuhi syarat pengajuan ISPO. Alasannya, ada peraturan baru yang menggolongkan lahan usahanya sebagai kawasan hutan.
"Regulasi ini saling bertabrakan dan tidak ada pihak yang menjadi penengah. Seharusnya ada pemimpin yang menjadi juri dan memutuskannya," ucapnya.
Hambatan lain datang dari syarat pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun. Joko menyebutkan, syarat ini membutuhkan koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pemerintah daerah, dan Kementerian Perhubungan untuk izin angkutnya.
Demi mendapatkan izin angkut, misalnya, perusahaan harus memiliki kepastian pihak pembeli limbah B3. Joko menyebutkan, syarat tersebut menyulitkan karena sejumlah perusahaan belum tentu berdekatan dengan pembeli limbah B3.
Sebagi solusinya, Joko mengharapkan adanya forum bersama yang melibatkan kementerian, lembaga, dan pihak-pihak yang terlibat dalam perkelapasawitan. "Bahkan, pemerintah perlu mengharmonisasikan, bahkan kalau perlu menderegulasikan aturan-aturan yang tumpang-tindih," katanya.
Terkait tumpang-tindih aturan yang berdampak pada lambatnya pertumbuhan sertifikasi ISPO, Bambang menanggapi, Direktorat Jenderal Perkebunan tidak dapat menyelesaikannya sendiri. Pihaknya membutuhkan sinergi dan koordinasi dengan sejumlah kementerian terkait dan pemerintah daerah.
Bertambah
Dalam kesempatan yang sama, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menyerahkan sertifikat ISPO kepada 65 perusahaan dan 2 koperasi swadaya. Kepala Sekretariat Komisi ISPO Aziz Hidayat mengatakan, total lahan tertanam dari sertifikasi itu seluas 235.867 hektar dengan produksi minyak kelapa sawit 915.252,7 ton.
Tambahan itu sudah termasuk dalam lahan tanam bersertifikasi ISPO yang terdata Kementerian Pertanian seluas 2,349 juta hektar. Hingga saat ini, ada 413 sertifikat ISPO yang sudah diterbitkan.
Bambang mengharapkan, pertumbuhan jumlah pelaku usaha perkelapasawitan bersertifikasi ISPO dapat semakin pesat. "Komisi ISPO dan lebaga sertifikasi ISPO menunggu pengajuan dari pelaku-pelaku usaha. Seharusnya, jika sudah HGU atau surat tanda daftar budi daya kelapa sawit yang menandakan lahan itu memang kebun, pelaku usaha dapat mengajukan sertifikasi ISPO," katanya.