JAKARTA, KOMPAS - Para pelaku industri kelapa sawit menggencarkan kampanye untuk menunjukkan penerapan prinsip berkelanjutan di Indonesia. Kampanye diharapkan menjawab sejumlah tudingan untuk menghambat pasar sawit Indonesia, khususnya di pasar Uni Eropa.
Untuk menghadapinya, industri kelapa sawit dijadikan salah satu jawaban dalam target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Menurut Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), perkelapasawitan dapat menjawab 6 dari 17 target.
Target-target itu berkaitan dengan kesejahteraan, kesenjangan, kesehatan, pemberantasan kelaparan, pertumbuhan ekonomi, dan menjaga iklim. "Selain memperhatikan aspek lingkungan, seharusnya industri perkelapasawitan juga dilihat sebagai upaya untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, dan memenuhi kebutuhan pangan," kata Direktur Eksekutif CPOPC Mahendra Siregar di Jakarta, Rabu (19/9/2018).
CPOCC mencatat, lebih dari 50 daerah terisolasi di dunia bergantung pada komoditas kelapa sawit. Dampaknya, perekonomian di daerah-daerah tersebut dapat tumbuh dan lebih dari 10 juta orang keluar dari jerat kemiskinan dengan terciptanya lapangan kerja.
Terkait pemenuhan pangan, Mahendra menilai, kelapa sawit menjadi jawaban kebutuhan minyak nabati dunia. Dari penelitian yang dihimpun CPOCC, tambahan kebutuhan minyak nabati dunia pada 2025 mencapai 51 juta ton.
Dalam rangka memenuhi tambahan itu, kelapa sawit dinilai menjadi solusi strategis karena produktivitasnya 4-10 kali lipat dari bahan minyak nabati lain. Tambahan lahan tanam kelapa sawit yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan itu sekitar 12,9 juta hektar (produktivitas 3,96 ton per hektar) sedangkan kedelai memerlukan 97,8 juta hektar (produktivitas 0,52 ton per hektar), bunga matahari 72 juta hektar (produktivitas 0,71 ton per hektar), dan rapeseed 51,6 juta hektar (produktivitas 0,99 ton per hektar).
Pekerjaan rumah Indonesia saat ini ialah meningkatkan produktivitas kelapa sawit sehingga tidak perlu lagi ekspansi lahan.
Aspek-aspek positif industri perkelapasawitan itu juga tengah disosialisasikan ke negara-negara anggota Uni Eropa. "Hingga saat ini, ada 8 negara anggota CPOCC di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin yang berkomitmen memperkuat posisi kelapa sawit di mata dunia," kata Mahendra.
Senada dengan Mahendra, Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Lin Che Wei menilai kelapa sawit sebagai komoditas strategis dalam menjawab SDGs, khususnya melalui sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Menurutnya, sertifikasi ISPO dapat berkontribusi dalam 12 target SDGs.
Lin berpendapat, industri kelapa sawit berperan dalam eradikasi kemiskinan. "Pekerjaan rumah Indonesia saat ini ialah meningkatkan produktivitas kelapa sawit sehingga tidak perlu lagi ekspansi lahan," ucapnya.
Sebagai salah satu perusahaan kelapa sawit, Managing Director Sustainability and Strategic Stakeholders PT Sinar Mas Agribusiness and Food Tbk atau SMART Agus Purnomo menyatakan, pihaknya memperhatikan fungsi ekologi dan kesejahteraan pada masyarakat dalam kelestarian kebunnya. Komitmen perusahaannya juga diarahkan untuk menjawab 9 target SDGs.
Tercatat hingga 2017, SMART sudah mengonversi 72.000 hektar lahan dana bermitra dengan 13 desa untuk melindungi 7.000 hektar lahan. Selain itu, perusahaan ini telah bermitra dengan 69.100 petani plasma.