Saat ini penggunaan mahadata atau big data untuk keperluan prediksi mulai meluas. Usaha-usaha rintisan berbasis digital menggantungkan bisnis masa depan berdasar analisis data ini. Penggunaan mahadata ditemukan di berbagai tempat seperti di industri digital, kepolisian, birokrasi, pendidikan, dan lain-lain. Akan tetapi, kini makin disadari, sejauh mana prediksi bisa digunakan tanpa mengurangi kebebasan dan privasi seseorang?
Pertanyaan ini muncul karena ada beberapa kondisi ekstrem yang dibahas dalam perdebatan penggunaan prediksi berbasis mahadata. Sebagai contoh, seseorang mempunyai catatan perilaku dalam waktu dekat membeli senjata, pernah melanggar lalu lintas, pernah mengonsumsi narkoba, dan lain-lain. Setelah melalui pengolahan mahadata, diprediksi dia akan melakukan tindak kejahatan dalam waktu dekat. Apakah aparat kepolisian berhak menangkap dia sebagai upaya pencegahan?
Contoh kasus lainnya berdasarkan pencatatan perilaku mahasiswa seperti tingkat kehadiran, nilai, kemampuan untuk memahami isi kuliah, serta catatan masa lalunya, maka diprediksi dia tidak bisa menyelesaikan kuliah. Cara ini memang sangat bagus untuk mengikuti perkembangan seorang mahasiswa. Namun, bagaimana dengan privasi dia? Pertanyaan lainnya, ketika dia dihakimi bakal tidak lulus, bukankah hal ini malah tidak memberi peluang dia untuk memperbaiki atau malah menutup kemungkinan lainnya?
Di Amerika Serikat, penggunaan prediksi ini juga dikritik karena memunculkan bias ras tertentu. Ada salah satu perangkat lunak yang digunakan untuk memprediksi kejahatan pada masa depan berdasarkan data sidang pengadilan yang pernah dijalani. Sayangnya, perangkat ini cenderung bias terhadap warga berkulit hitam.
Seorang direktur data dan analisis platform, Frederica Pezel, dalam salah satu tulisannya merinci, meskipun perangkat itu tidak memasukkan data ras dan etnis, namun ternyata gagal. Sebab, perangkat itu tetap mendapatkan prediksi pelaku kejahatan masa depan, yakni mereka yang berkulit hitam. Kenyataannya, hanya 20 persen mantan pelaku kejahatan yang beraksi lagi dan ternyata pelakunya mayoritas warga kulit putih. Beberapa waktu lalu, penggunaan mahadata catatan aparat yang dikombinasikan dengan fasilitas pengenalan wajah juga dikritik ketika digunakan di sebuah stadion karena bias ras. Mereka yang dicurigai akan melakukan kejahatan mayoritas berkulit hitam.
Penggunaan mahadata untuk menentukan premi asuransi juga dikritik. Salah satu penyebabnya, anggapan tentang sesuatu yang normal dan sesuatu yang abnormal untuk sebuah perilaku karena perbedaan gender, pendapatan, etnisitas, level pendidikan, dan kebiasaan sehari-hari. Akibatnya ada yang harus membayar premi lebih mahal dibandingkan yang lain.
Masih banyak perdebatan terkait dengan penggunaan mahadata untuk prediksi. Prediksi memang akan membantu. Namun, menyangkut pilihan keputusan manusia, masih banyak kemungkinan -meski kecil sekalipun- yang akan diambil. Kritik lainnya, prediksi berbasis data masa lalu mungkin tidak lagi akurat dalam konteks sekarang. Manusia bisa berubah terkait dengan cara pandang dan nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Akan tetapi, kalangan sainstis data pasti tidak akan berhenti di sini. Mereka akan terus mengembangkan teknologi analisis mahadata yang makin akurat.
Prediksi memberi banyak keuntungan dalam pengambilan keputusan bisnis dan berbagai keputusan lainnya. Masukan berupa kesalahan malah akan membantu mereka untuk mengurangi kesalahan prediksi. (ANDREAS MARYOTO)