Kerupuk Inovasi Dangke
Orang Enrekang di Sulawesi Selatan mengenal penganan mirip keju dengan istilah dangke, yang terbuat dari susu sapi atau susu kerbau. Dangke biasanya dimasak secara tradisional dan digunakan sebagai lauk atau teman makan pulu mandoti atau beras ketan lokal.
Di tangan Marwah (23), penganan tradisional yang dikonsumsi masyarakat secara turun-temurun itu dibuat dalam bentuk lain. Dia membuat inovasi dan mengembangkan dangke menjadi kerupuk sehingga memberikan nilai tambah cukup tinggi.
Di bawah bendera Rumah Dangke, Marwah menyebut produknya sebagai kerupuk dangke atau kriuk dangke. Bentuknya kecil-kecil mirip makanan kemasan yang banyak beredar di toko ritel. Rasanya seperti biskuit, gurih, dan saat dikunyah ”kriuk-kriuk”. Marwah mengembangkan tiga rasa, yakni kerupuk dangke rasa cokelat, rasa kopi, dan rasa asli atau original.
Bahkan, dalam waktu dekat rasanya akan bertambah lagi karena Marwah sedang mengembangkan rasa keempat, menggunakan bahan campuran yang berbeda dengan tiga varian yang hadir lebih dulu. Rasa yang sebelumnya menggunakan campuran beras dan gula pasir kini menggunakan campuran beras merah dan gula aren.
”Jadi lebih sehat. Tiga varian sebelumnya menggunakan campuran beras biasa dan gula pasir sebagai pemanis,” ujarnya saat ditemui di lokasi pameran Wirausaha Muda Mandiri (WMM) di Mal Olympic Garden, Malang, Jawa Timur, Minggu (9/9/2018).
Marwah adalah salah satu finalis nasional WMM bersama 75 kontestan lain dari seluruh Indonesia. Meskipun pada akhirnya tak memenangi WMM, produk Marwah sudah berhasil hadir di ajang ini.
Biasanya, dangke berbentuk gumpalan dan dikemas menggunakan daun pisang. Namun, produk Marwah telah menggunakan kemasan plastik lengkap dengan label sesuai rasanya. Ia pun membubuhkan tulisan percakapan pendek di label produk tersebut, yang tujuannya memberi tahu konsumen mengenai produk yang mereka beli.
Maklum, di Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, belum semua masyarakat mengenal istilah dangke.
”Dangke hanya ada di Enrekang dan biasanya hanya sebagai oleh-oleh,” ujarnya.
Setahun ini, Marwah baru memasarkan kerupuk dangke di seputaran Makassar, khususnya di lingkungan kampus Universitas Hasanuddin (Unhas). Marwah pernah menuntut ilmu di universitas ini. Ada juga satu toko oleh-oleh di Makassar yang menjajakan kerupuk dangke ini.
Adapun untuk pemasaran dangke—yang dikemas dengan plastik—telah menjangkau wilayah di luar Sulawesi, di antaranya Kalimantan, Maluku Utara, Jawa, dan Papua.
Selain membuat kerupuk dangke, Marwah juga membuat dangke.
Dengan harga Rp 20.000 per bungkus berisi 20 gram, Marwah mengatakan, kerupuk dangke buatannya laku hingga 1.000 bungkus per bulan. Penjualannya secara langsung ataupun dalam jaringan. Marwah mengklaim kerupuk dangke buatannya bisa tahan hingga beberapa bulan kendati tanpa pengawet.
”Dangke biasa hanya tahan sampai dua hari,” kata alumnus Jurusan Peternakan Unhas itu. Marwah menuturkan, produknya bebas dari zat kimia dan pengawet.
Meneliti
Sebelum memproduksi kerupuk dangke, Marwah terlebih dahulu terlibat dalam penelitian soal dangke untuk keperluan skripsi. Namun, saat itu, ia lebih fokus ke biskuit dangke untuk anak-anak.
Keberadaan kerupuk dangke cukup menarik bagi masyarakat yang tinggal di luar Enrekang. Akibatnya, mereka tertarik untuk mencicipi, kemudian membeli kerupuk dangke.
”Konsumen di Makassar dan daerah lain di Sulawesi Selatan cukup antusias. Kerupuk dangke ini dibeli khusus untuk oleh-oleh,” ujar Marwah.
Untuk pameran di Mal Olympic Garden, Malang, Marwah hanya membawa 50 bungkus kerupuk dangke. Semuanya ludes dibeli pengunjung pameran.
Sejauh ini, persaingan di Enrekang dan Makassar tidak menjadi kendala bagi pemasaran kerupuk dangke. Sebab, di Enrekang, produsennya masih menggunakan cara berjualan tradisional, baik mengenai kemasan maupun pemasarannya. ”Jadi, saya tidak khawatir soal persaingan," kata perempuan yang tinggal di Kelurahan Buntu Barana, Kecamatan Curio, Enrekang, ini.
Begitu pula mengenai bahan baku. Hingga kini, Marwah tidak kesulitan mengumpulkan bahan baku. Susu diperolehnya dari peternak.
”Perihal kemasan juga tidak ada kendala. Memang semula saya menggunakan kemasan plastik biasa dengan stiker kecil. Saat itu, produk yang laku belum banyak. Setelah menggunakan kemasan modern, peminat mulai banyak sehingga dalam satu bulan bisa laku 500-1.000 buah,” tuturnya.
Kendala justru datang dari jaringan internet yang belum menjamin kelancaran proses berselancar di dunia maya. Marwah pun menyiasati dengan memilih lokasi usaha di Makassar.
Usaha ini akan terus digarap Marwah. Untuk itu, Salah satu langkahnya adalah mengganti merek Rumah Dangke, yang kini sedang dalam proses.