JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif berencana membantu perluasan pangsa pasar produk industri kreatif. Cara yang ditempuh mencakup edukasi pengembangan nilai tambah ekonomi berbasis hak kekayaan intelektual hingga memfasilitasi pelaku dalam forum bisnis.
Deputi Bidang Pemasaran Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Joshua PM Simanjutak, di Jakarta, Senin (24/9/2018), mengatakan, pihaknya akan meluncurkan program pelatihan dan pengembangan nilai tambah (monetization) hak kekayaan intelektual produk industri kreatif pada Oktober 2018. Program ini diberi nama Ketapel.
Materi program diawali dari edukasi pemahaman dan pengembangan nilai tambah bisnis berbasis hak kekayaan intelektual selama 1,5 bulan. Kemudian, Bekraf mengkaji ulang seluruh portofolio produk beserta hak kekayaan intelektual yang dimiliki peserta. Terakhir, mentoring peserta selama 12 bulan dan secara paralel, mereka akan diikutsertakan ke pameran lisensi hak kekayaan intelektual skala internasional.
”Masih banyak pelaku industri kreatif sudah mengantongi hak kekayaan intelektual, terutama berbentuk karakter, tetapi belum memahami cara pengembangan nilai tambah bisnis. Kalaupun sudah ada yang paham, mereka umumnya terbatas menyasar ke subsektor industri kreatif saja,” ungkap Joshua.
Dia mencontohkan karakter Batman yang berhasil dimainkan oleh berbagai sektor industri, mulai dari film, pernak-pernik, mainan, hingga kartu kredit perbankan. Contoh kasus ini dia harapkan bisa ditiru pelaku industri kreatif lokal.
”Jadi, pengembangan nilai tambah bisnis berbasis hak kekayaan intelektual sudah lintas sektor industri. Tidak melulu berkutat di lingkup sektor industri kreatif,” lanjutnya.
Hanya saja, Joshua mengakui masih adanya tantangan rendahnya kesadaran dan pentingnya memiliki hak kekayaan intelektual.
Secara terpisah, Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center Sapta Nirwandar berpendapat, tantangan terbesar pengembangan ekonomi halal di Indonesia adalah belum adanya kebijakan yang terintegrasi antarkementerian dan lembaga.
Sebagai gambaran, perhotelan halal belum terhubung langsung dengan industri makanan dan minuman halal. Dukungan kebijakan akses pinjaman syariah juga belum terkoneksi langsung dengan kelompok pelaku industri halal, terutama berskala mikro, kecil, dan menengah.
”Tantangannya terletak di hulu. Selain kebijakan yang terintegrasi, infrastruktur standardisasi halal untuk setiap produk juga semestinya segera dipersiapkan,” ujar Sapta di sela-sela diskusi ”Pengembangan Industri Halal untuk Mendukung Ekonomi Keuangan Syariah”.
Untuk hilir industri halal, Sapta memandang, Indonesia memerlukan satu acara pemasaran berskala besar yang bisa diikutsertakan dalam kalender pameran produk halal dunia. Melalui cara ini, dia menilai, produk-produk halal lokal berpeluang meraih pangsa pasar lebih besar.
Sapta menyebutkan, produk halal Indonesia yang memiliki pertumbuhan bisnis cepat ialah makanan, farmasi, kosmetik, dan terakhir mode. Di luar itu, potensi pertumbuhan terletak pada produk wisata, film, dan musik.
Rantai industri halal
Kepala Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia (BI) Anwar Bashori mengungkapkan pentingnya membangun rantai nilai industri halal nasional. Rantai diawali dari meningkatkan kapasitas industri berskala kecil menengah hingga besar.
”Kelompok pelaku UMKM penghasil material dihubungkan dengan usaha skala besar,” ucapnya. BI berusaha berperan sebagai penghubung dalam rantai nilai industri halal.
BI berkolaborasi dengan Indonesia Halal Lifestyle Center mengadakan Indonesia International Halal Lifestyle Conference and Business Forum 2018 yang berlangsung 3-5 Oktober 2018 di Balai Sidang Jakarta.
Anwar mengemukakan, salah satu penekanan acara ini adalah forum bisnis yang mempertemukan seluruh pelaku di ekosistem industri halal. Sifatnya memang membaurkan pembeli dan penjual produk ataupun layanan.