JAKARTA, KOMPAS - Pendataan petani swadaya perkebunan kelapa sawit dinilai sangat penting agar mereka bisa mendapatkan legalitas lahan dan bantuan program pendanaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto di Jakarta, Senin (24/9/2018) menyatakan, pendataan petani swadaya bisa menjadi agenda pemerintah terkait moratorium perizinan kelapa sawit.
Menurut Darto, petani swadaya mencapai 3 juta orang dan petani plasma sekitar 1 juta orang. Namun, perkiraan jumlah petani swadaya sebanyak 3 juta orang itu merupakan data yang belum jelas dan belum terverifikasi. "Kalau di kabupaten, belum jelas siapa petani swadaya, dimana lokasinya, dan seberapa luas lahannya," katanya.
Pendataan perlu dilakukan terutama bagi petani yang memiliki lahan di kawasan hutan atau di lahan berstatus hak pengelolaan lahan (HPL). Namun, pendataan petani swadaya sawit memerlukan dana besar yang sulit dibebankan pada pemerintah kabupaten. Dana dari Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Sawit (BPDP) perlu dialokasikan untuk pendataan tersebut.
Dari pendataan tersebut diharapkan bisa diketahui mana lahan kebun sawit di kawasan hutan yang dapat dikeluarkan dari status kawasan hutan. Dengan demikian, petani swadaya sawit dapat memperoleh legalitas lahan.
Dana perkebunan
Dengan legalitas lahan itu, petani swadaya dapat memperoleh dana dari BPDP maupun sertifikasi kebun sawit yang berkelanjutan (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO). "Selama ini, dana BPDP lebih banyak digunakan untuk korporasi dan subsidi biodiesel," kata Darto.
Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino mengakui, kendala terbesar dan tidak mudah ditangani adalah masalah legalitas atau sertifikasi lahan kebun sawit milik rakyat. "Kalau lahan tidak tersertifikasi, (petani atau pemilik kebun) tidak bisa atau tidak pernah mendapat bantuan program peremajaan dari BPDP," katanya.
Jika masyarakat pemilik kebun tidak mendapat bantuan program peremajaan, Rino mempertanyakan bagaimana masyarakat atau petani dapat meningkatkan produktivitas. Dengan kondisi itu, realisasi program peremajaan kebun sawit pun masih sangat kecil. Dari target pemerintah seluas 2,4 juta hektar dalam 5 tahun sejak 2017, realisasi baru sekitar 11.000 hektar.
Rino menambahkan, kebun sawit rakyat banyak berada di kawasan hutan produksi atau kawasan hutan yang bisa dikonversi, bukan di hutan konservasi atau hutan lindung. Pemerintah berupaya menyelesaikan masalah legalitas lahan sawit dengan Peraturan Presiden (Perpres) No 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Namun, lanjut Rino, Perpres itu dinilai tidak menyelesaikan masalah legalitas lahan sawit. Dalam ketentuan Perpres No 88/2017 diatur bahwa lahan yang dapat dikeluarkan dari kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan merupakan lahan garapan yang sudah dikuasai lebih dari 20 tahun.
Di sisi lain, menurut Rino, kebun sawit rakyat mulai banyak berkembang kurang dari 20 tahun, yaitu setelah reformasi, terutama sejak tahun 2000. Kebun sawit milik rakyat yang ditanam lebih dari 20 tahun umumnya merupakan lahan-lahan kebun sawit dari lahan-lahan yang menjadi program transmigrasi pada pemerintahan Presiden Soeharto.