YOGYAKARTA, KOMPAS--Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat atau wirawisata di desa menopang geliat perekonomian desa. Selain meningkatkan pendapatan masyarakat, wirawisata mengurangi jumlah penganggur dan menekan urbanisasi.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, desa yang mengembangkan wirawisata di antaranya Dusun Pentingsari, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, dan Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul.
Dusun Pentingsari mengembangkan konsep wirawisata keaslian kehidupan desa, sedangkan Desa Bejiharjo memiliki wirawisata karst Gua Pindul.
Pengelola Desa Wisata Pentingsari, Doto Yogantoro, dalam sarasehan Kafe BCA on the Road, Sabtu (22/9/2018), di Gunungkidul, mengatakan, pada awal perkembangannya, omzet desa dari pariwisata Rp 30 juta. Pada 2017, omzet desa melonjak tajam menjadi Rp 2,2 miliar.
Dari pendapatan itu, sebesar 90 persen di antaranya dinikmati masyarakat, sedangkan 10 persen sisanya untuk meningkatkan infrastruktur, konservasi, dan pengembangan wisata.
"Masyarakat yang dulu hanya berpenghasilan dari sektor pertanian, kini mendapat penghasilan tambahan dari sektor pariwisata. Minimal warga mendapat tambahan penghasilan Rp 1 juta-2 juta per bulan, antara lain dari jasa rumah inap, kuliner khas desa, dan pemandu wisata," kata Doto.
Pengelola wirawisata Gua Pindul, Yudan, mengemukakan, pada awal pengembangan wirawisata di 2011, wisatawan yang berkunjung sekitar 100-200 orang per bulan. Saat ini, jumlah kunjungan wisatawan bisa lebih dari 1.000 orang per bulan.
Pendapatan desa yang rata-rata Rp 5 juta per bulan, sekarang meningkat menjadi Rp 200 juta per bulan. Para pemuda yang merantau juga mulai kembali ke desa karena upah bekerja di desa sudah melebihi upah minimum Provinsi DI Yogyakarta yang tahun ini Rp 1,45 juta per bulan.
Vice President Corporate Social Responsibility PT Bank Central Asia Tbk Inge Setiawati mengatakan, ada 12 desa binaan BCA yang tersebar di Jawa, Bali, dan Sumatera. Desa binaan itu akan dikembangkan ke arah wirawisata atau kemandirian masyarakat desa dalam mengelola wisata, sehingga masyarakatnya bisa mendapat tambahan penghasilan.
"Pendampingan yang dilakukan sesuai karakteristik dan potensi desa setempat, baik dalam layanan wisatawan, manajemen keuangan, dan mempertahankan keontentikan desa," kata dia.
Devisa pariwisata
Pemerintah menargetkan wisatawan asing yang datang ke Indonesia sebanyak 17 juta orang pada 2018 dan 20 juta orang pada 2019. Adapun target devisanya 17 miliar dollar AS pada 2018 dan 20 miliar dollar AS pada 2019.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, A Tony Prasetiantono, mengemukakan, sama seperti devisa hasil ekspor, tidak semua devisa pariwisata bisa menjadi cadangan devisa. Dari sekitar 1.100 dollar AS per kunjungan wisatawan, diperkirakan hanya 700 dollar AS yang terkonversi menjadi rupiah.
Hal itu terjadi karena masih banyak hotel dan jasa perjalanan asing menggunakan jasa pembayaran luar negeri.
Sementara, lanjut Tony, pariwisata desa dapat berkembang optimal jika infrastruktur dikembangkan. Selain itu, desa perlu terus didorong agar melahirkan wirausaha yang mampu mengemas potensi wisata desa.
Komisaris Independen BCA Cyrillus Harinowo Hadiwardoyo mengatakan, pengembangan wirawisata desa dapat berkontribusi terhadap penambahan devisa negara. Namun, ada syaratnya, yakni pengelolaan wisata itu harus berbasis masyarakat.
Terkait devisa pariwisata, sebagian besar hotel asing sudah dimiliki Indonesia. Namun, sistem pembayarannya masih ada yang menggunakan jasa operator asing dengan biaya rata-rata sekitar 7 persen setiap transaksi.
"Jika pembayarannya melalui transfer, devisa itu akan masuk perbankan. Adapun devisa yang dibayarkan secara langsung akan masuk ke pengusaha-pengusaha jasa wisata," ujarnya. (HEN)