JAKARTA, KOMPAS--Upaya meningkatkan ekspor nasional semakin menantang di tengah ketidakpastian perekonomian global. Oleh karena itu, perbaikan kinerja ekspor perlu dijadikan salah satu sasaran pokok rencana pembangunan jangka menengah nasional.
Tekanan eksternal terhadap perekonomian nasional bukan persoalan baru. Momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia kerap dibarengi defisit transaksi berjalan akibat laju impor yang lebih tinggi dari ekspor. Transaksi berjalan triwulanan defisit sejak triwulan IV-2011.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sejak krisis Asia 1998, pertumbuhan perdagangan internasional melemah, menjadi 4-5 persen per tahun. Ekspor Indonesia tumbuh menyamai perdagangan internasional, tetapi impor melonjak di atas 20 persen. Dalam jangka pendek, impor dikendalikan melalui peningkatan pajak penghasilan (PPh).
“Idealnya, defisit transaksi berjalan diselesaikan dengan menaikkan ekspor, bukan menurunkan impor. Namun, kondisi sekarang seperti orang sakit demam. Karena sulit keluar rumah, deman diturunkan terlebih dahulu,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Senin (24/9/2018).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Agustus 2018 defisit 4,086 miliar dollar AS. Pada periode itu, neraca perdagangan bulanan yang surplus hanya terjadi pada Maret dan Juni.
Direktur Eksekutif University Network for Indonesia Export Development, Zakir Machmud, mengatakan, peningkatan ekspor nasional mesti dijadikan tema penting dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Selama ini, target peningkatan ekspor belum menjadi indikator sasaran makro. “Belum jelas siapa yang memimpin strategi peningkatan ekspor. Masing-masing kementerian dan lembaga mempunyai pemahaman ekspor yang berbeda,” katanya.
Menurut Zakir, peluang ekspor semakin menantang di tengah gejolak ekonomi global. Ekspor sangat bergantung pelaku, pasar, dan produk. Indonesia tidak bisa memaksakan ekspor unggulan masuk ke negara yang sedang meningkatkan proteksionisme, seperti Amerika Serikat.
Diversifikasi
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Arlinda mengatakan, diversifikasi ekspor unggulan mutlak diperlukan. Indonesia tak bisa hanya mengandalkan ekspor minyak sawit kendati kontribusinya 11 persen dari total ekspor. Ekspor unggulan yang mulai didorong saat ini adalah kopi dan teh.
Selain produk ekspor, diversifikasi pasar juga sedang dirintis. Selama ini, tujuan ekspor utama adalah China, Jepang, AS, India, dan Singapura. Negara nontradisional mulai dibidik, seperti Sri Lanka, India, Pakistan, Rusia, dan sejumlah negara di Afrika.
Direktur Eksekutif Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) Sinthya Roesly menambahkan, pembiayaan menyasar eksportir Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Nasabah UMKM ditargetkan mencapai 15 persen dari total nasabah. Saat ini jumlahnya baru sekitar 600-700 nasabah. Mereka akan diarahkan untuk mengekspor produk ke negara-negara nontradisional.
Dalam seminar Indonesia Economic Forum, Senin, Kepala Departemen Internasional Bank Indonesia Doddy Zulverdi menyampaikan, tekanan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan terus berlanjut dalam dua tahun mendatang, seiring normalisasi kebijakan moneter Bank Sentral AS, The Fed.
Tekanan terhadap rupiah sepanjang tahun ini, lanjut Doddy, dipicu revisi data produk domestik bruto AS triwulan II-2018, dari 4,1 persen menjadi 4,2 persen. Pemicu lain adalah langkah Bank Sentral China memperlemah yuan di tengah negosiasi sengketa dagang AS-China.
Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, kondisi global akan membatasi perekonomian Indonesia untuk tumbuh tinggi. Pemerintah perlu mengantisipasi imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang diperkirakan 3,15 persen pada 2018 dan 3,52 persen pada 2019 karena berpotensi menarik modal asing keluar dari Indonesia. (KRN/DIM)