JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri perbankan menilai kenaikan suku bunga sebesar 50 basis poin lebih ideal untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Besaran suku bunga acuan Bank Indonesia dinilai masih belum mengimbangi suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve System.
Komisaris Independen PT Bank Central Asia Cyrillus Harinowo di Jakarta, Kamis (27/9/2018), mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (7DRRR) tidak dapat dihindari. Kenaikan 50 basis poin (bps) dinilai akan menjadi kebijakan yang lebih tepat ketimbang hanya 25 bps.
Suku bunga secara total baru naik 125 bps pada 2018 menjadi 5,5 persen sebelum kenaikan 25 basis poin pada Kamis (27/9/2018) ini. Adapun The Fed telah menaikkan sebesar 175 bps. Kenaikan 50 bps akan mampu mengimbangi persaingan dengan suku bunga The Fed tersebut.
”Pelaku usaha akan lebih mudah beradaptasi dengan kenaikan suku bunga acuan daripada fluktuasi nilai tukar,” kata Cyrillus.
Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah berada di kisaran 14.800-14.900 selama September 2018. Kamis (27/9/2018) ini, nilai tukar rupiah sebesar Rp 14,919 per dollar AS.
Menurut dia, pelaku usaha masih bisa menahan kenaikan suku bunga kredit selama beberapa bulan ke depan walaupun suku bunga acuan naik 50 bps. Ditambah lagi, kondisi likuiditas keuangan belum mengetat.
Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) memutuskan menaikkan (7DRRR) sebesar 25 bps menjadi 5,75 persen. Suku bunga deposit facility naik menjadi 5 persen dan lending facility sebesar 6,5 persen.
Adapun The Fed juga baru saja menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps menjadi 2-2,25 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, keputusan ini untuk menurunkan defisit transaksi berjalan dan mempertahankan daya tarik pasar domestik. Ditambah lagi, ketidakpastian perekonomian global masih terus terjadi.