JAKARTA, KOMPAS--Potensi kebocoran penerimaan negara untuk ekspor batubara ditangani secara bertahap. Setiap perusahaan harus menghitung dan melaporkan komponen iuran produksi atau royalti melalui sistem elektronik terintegrasi.
Potensi kebocoran penerimaan negara ditangani secara bertahap melalui uji coba sistem elektronik penerimaan negara bukan pajak (e-PNBP). Dalam tiga bulan terakhir, sejumlah perusahaan batubara harus melaporkan komponen royalti melalui e-PNBP, antara lain harga jual, kualitas batubara, volume dan lokasi penjualan, serta dokumen pengapalan.
“Selama ini perusahaan hanya melaporkan total pembayaran royalti secara mandiri. Dengan e-PNBP, komponen royalti dilaporkan satu per satu lalu dihitung oleh sistem secara digital,” kata Kepala Sub Direktorat Pengawasan Usaha Operasi Produksi dan Pemasaran Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dodik Ariyanto dalam diskusi bertema transparansi penerimaan industri ekstraktif di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Dodik menjelaskan, sejak 2014, setiap perusahaan batubara harus membayar royalti sebagai penerimaan negara. Namun, royalti yang dibayar kerap tak sesuai hasil perhitungan surveyor. Akibatnya, penerimaan negara ditengarai bocor.
Sistem e-PNBP akan optimal diterapkan pada awal 2019. Laporan dari pengusaha akan terintegrasi dengan data Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. Kebocoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor mineral dan batubara kerap disorot. Persoalan itu ditengarai akibat perbedaan data ekspor batubara antarinstansi pemerintah, seperti Kementerian ESDM, Badan Pusat Statistik, dan Kementerian Perdagangan.
Berdasarkan penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Article 33 Indonesia, ada selisih volume 432 juta ton batubara yang seharusnya masuk ke penerimaan negara senilai Rp 10,9 triliun-Rp 23,7 triliun dalam 10 tahun terakhir. Selisih volume itu didapat dari data pemerintah yang dibandingkan dengan data dari negara pengimpor batubara asal Indonesia.
Asisten Deputi Industri Ekstraktif Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ahmad Bastian Halim mengatakan, ribuan perusahaan yang hanya menyumbang 6 persen PNBP nasional perlu diverifikasi ulang. Transparansi dan tata kelola pertambangan diperbaiki bertahap, agar penerimaan negara dari sektor mineral dan batubara lebih optimal.
Optimalkan bisnis
Sementara itu, PT ABM Investama Tbk fokus pada bisnis jasa sektor tambang, menyusul kian berkurangnya cadangan batubara di lahan konsesi di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Dengan volume produksi rata-rata 5 juta ton per tahun, sisa cadangan sekitar 18 juta ton akan habis tepat pada masa berakhirnya izin di 2021.
Melalui anak usahanya, PT Tunas Inti Abadi, kawasan produksi batubara ABM Investama di Tanah Bumbu seluas 3.085 hektar. Volume sumber daya batubara di kawasan itu diperkirakan 106 juta ton. Batubara yang diproduksi berkalori sedang, yaitu 5.400-5.600 kalori per kilogram.
China menjadi pasar utama ekspor batubara perusahaan, yakni berkontribusi hampir 60 persen. Negara lain yang menjadi tujuan ekspor adalah India, Vietnam, Filipina, dan Thailand. Perusahaan juga memenuhi kewajiban pasokan batubara ke dalam negeri sebesar 25 persen dari total produksi per tahun, yaitu untuk kebutuhan pembangkit listrik PLN dan industri.
Direktur Keuangan ABM Investama Adrian Erlangga mengatakan, upaya perusahaan untuk terjun di semua mata rantai pasok batubara menjadi solusi bisnis pada saat cadangan batubara habis. (KRN/APO)