Petani Sawit Swadaya Butuh Pembiayaan dan Insentif
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Meskipun masih bersifat sukarela, petani swadaya kelapa sawit diminta mengurus sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil atau ISPO. Namun, petani swadaya dinilai masih membutuhkan bantuan pembiayaan dan pendampingan untuk mengurus sertifikasi. Mereka juga berharap insentif sebagai daya tarik.
Sertifikasi ISPO merupakan sistem yang menjamin industri kelapa sawit memenuhi prinsip berkelanjutan dari hulu ke hilir. Sampai saat ini, sertifikasi ISPO masih bersifat sukarela bagi petani, baik petani plasma maupun petani swadaya. Petani swadaya tidak bermitra secara kontrak dengan industri kelapa sawit tertentu.
"Sumber pembiayaan juga menjadi tantangan dalam mengurus persiapan sertifikasi ISPO. Padahal, sertifikasi ISPO itu menunjukkan komitmen petani dalam menerapkan prinsip berkelanjutan pada lahan kelapa sawitnya," kata Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Rino Afrino pada lokakarya "Pembelajaran Sertifikasi ISPO untuk Pekebun" di Jakarta, Jumat (28/9/2018).
Pembiayaan di tingkat koperasi atau kelompok petani kelapa sawit itu dialokasikan untuk mengurus berkas-berkas legalitas lahan, memetakan lahan, mendapatkan surat tanda daftar usaha perkebunan (STDB), serta pelatihan. Jika ditotal, menurut Rino, biayanya dapat mencapai Rp 500 juta per koperasi atau kelompok tani.
Insentif
Tak hanya modal pembiayaan di awal, petani swadaya mempertanyakan insentif jika produk mereka bersertifikasi ISPO. Kedua hal itu membuat petani swadaya tidak bergairah untuk mengurus sertifikasi ISPO.
Rino mengatakan, insentif itu dapat bersifat materi langsung maupun fiskal, seperti penundaan pajak. Dia ingin petani swadaya yang sudah bersertifikat ISPO mendapatkan keuntungan lebih dibandikan yang tidak bersertifikat.
Oleh sebab itu, Rino mengharapkan pemerintah menyiapkan anggaran untuk pembiayaan dalam mengurus sertifikasi ISPO serta insentif setelah bersertifikat ISPO bagi petani swadaya. "Kalau tidak dianggarkan, pemerintah seharusnya mempersiapkan skema pembiayaan lain yang melibatkan perusahaan," ujarnya.
Terkait upaya mendorong sertifikasi ISPO bagi petani swadaya kelapa sawit, menurut Kepala Sekretariat Komisi ISPO Aziz Hidayat, mengandalkan komitmen dan partisipasi aktif pemerintah daerah. Dia mencontohkan, sejumlah kabupaten di Jambi memiliki surat keputusan bupati yang berdampak pada percepatan penerbitan STDB. Bahkan, penerbitan STDB digratiskan di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, karena sudah dianggarkan di anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga dinilai penting oleh Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang. Dia berpendapat, LSM dapat membantu pemerintah dalam mempercepat jumlah sertifikasi ISPO bagi petani swadaya.
40 sertifikat
Dalam kesempatan yang sama, Aziz mengatakan, Komisi ISPO siap membahas 40 pengajuan sertifikat ISPO pada Oktober mendatang. Harapannya, sertifikat sudah dapat diterbitkan pada November.
Sebanyak 3 dari 40 pihak yang mengajukan sertifikasi ISPO berasal dari koperasi petani swadaya kelapa sawit. "Semoga hingga Oktober jumlahnya dapat bertambah," ucap Aziz.
Penambahan itu, menurut Aziz, dapat dipicu dengan adanya bantuan LSM dan kemitraan dari perusahaan-perusahaan besar. Saat ini, dia masih menunggu laporan dari lembaga-lembaga sertifikasi.