JAKARTA, KOMPAS -- Indeks harga konsumen pada September 2018 mengalami penurunan atau deflasi 0,18 persen dibandingkan Agustus 2018. Deflasi tersebut dinilai mencerminkan suplai pangan yang cukup di pasar.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka komponen bergejolak (volatile food) pada September 2018 turun 1,83 persen. Menurut Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Kasan, angka tersebut mencerminkan ketersediaan pasokan pangan mencukupi permintaan.
Kontribusi kelompok bahan makanan pada deflasi September 2018 mencapai 0,35 persen dengan penurunan sebesar 1,62 persen. Menurut Kasan, deflasi daging ayam dan telur disebabkan oleh penurunan permintaan pasca hari besar keagamaan nasional.
Secara umum, menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi, produksi bahan pangan mencukupi suplai hingga ke pasar, seperti bawang merah dan cabai. Permintaan kedua komoditas dapat terpenuhi karena telah panen.
Namun demikian, komoditas beras mengalami inflasi 0,1 persen. Menurut Agung, inflasi tersebut bersifat anomali karena suplai beras dan cadangan beras pemerintah terpenuhi.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, realisasi produksi gabah kering giling pada Januari-September 2018 sebanyak 67,94 juta ton. Sementara realisasi pengadaan cadangan beras pemerintah di Bulog sebesar 2,81 juta ton per Senin (1/10/2018).
Anomali itu, menurut Agung, terjadi karena dua faktor. Pertama, inflasi beras pada September 2018 disebabkan oleh aspek distribusi dan rantai pasok yang menyebabkan disparitas harga.
Faktor kedua ialah kualitas beras yang bagus dan tercermin dari harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani meningkat 2,4 persen menjadi Rp 4.889 per kilogram. "Karena kualitasnya bagus, rendemennya dapat mencapai 60 persen," ucap Agung saat dihubungi, Senin.