JAKARTA, KOMPAS - Pembangunan infrastruktur akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Namun, diperlukan banyak perbaikan, mulai dari skema pembiayaan sampai dengan penyiapan sumber daya manusia agar pembangunan infrastruktur lebih berkelanjutan.
Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Syarif Burhanuddin dalam seminar Asosiasi Kontraktor Indonesia, Selasa (2/10/2018), di Jakarta, mengatakan, alokasi anggaran pemerintah untuk infrastruktur yang terus meningkat merupakan bukti pembangunan infrastruktur menjadi prioritas. Tahun 2014, alokasi untuk infrastruktur sebesar Rp 150 triliun. Anggaran itu naik menjadi Rp 250 triliun pada 2015. Tahun ini, alokasi anggaran infrastruktur Rp 410 triliun.
Dengan pembangunan infrastruktur yang masif, peran badan usaha jasa konstruksi (BUJK) atau kontraktor sangat penting. Menurut catatan Pemerintah, jumlah BUJK di Indonesia sangat besar, yakni 126.000 perusahaan. Masalahnya, perbandingan antara BUJK berskala besar, menengah, dan kecil belum ideal. Dari jumlah tersebut, sekitar 85 persen di antaranya tergolong BUJK kecil dan 14 persen di antaranya tergolong BUJK menengah. Hanya sekitar 1 persen yang termasuk BUJK besar.
Dari sisi klasifikasi, kebanyakan adalah kontraktor umum. Hanya sekitar 5.900 BUJK yang diklasifikasikan spesialis dengan 37 BUJK di antaranya tergolong BUJK besar. Idealnya, BUJK spesialis lebih banyak dari BUJK spesialis. “Tantangan ke depan adalah memperbanyak kontraktor spesialis,” kata Syarif.
Masalah lainnya, pembangunan infrastruktur yang banyak dilakukan itu memperlihatkan Indonesia kekurangan tenaga kerja dan ahli konstruksi yang terampil dan bersertifikat. Dari jumlah tenaga kerja konstruksi sebanyak 8,1 juta orang, yang bersertifikat, baik sebagai tenaga terampil maupun ahli, hanya sekitar 500.000 orang atau kurang dari 1 persennya. Kondisi kekurangan tenaga kerja konstruksi yang terampil itu membuat tenaga kerja yang ada menambah jam kerja atau lembur. Akibatnya, kecelakaan kerja yang terjadi beberapa waktu lalu kebanyakan disebabkan faktor manusia, terkait kedisiplinan dan pengawasan kerja.
Di sisi lain, lanjut Syarif, pemerintah mendorong agar BUJK asal Indonesia mengikuti lelang proyek infrastruktur di luar negeri. Hal itu telah dilakukan beberapa BUJK yang merupakan BUMN, seperti Wijaya Karya di Aljazair. Pemerintah, lanjut Syarif, akan mendorong penggunaan material dari dalam negeri, seperti baja dan aspal. Dari total kebutuhan komponen material untuk infrastruktur, sekitar 13 persen di antaranya diimpor. “Itu kebanyakan impor berupa aspal,” ujar Syarif.
Pada kesempatan itu, Direktur Program Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Rainier Haryanto mengatakan, melalui pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang bisa ditingkatkan. Selain itu, biaya logistik bisa ditekan dari porsi saat ini yang mencapai 24 persen.
Di sisi lain, proyek strategis nasional (PSN) memerlukan pendanaan yang sangat besar, yakni sekitar Rp 4.700 triliun. Akibat keterbatasan anggaran pemerintah, baik pusat maupun daerah, dibuat skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Namun demikian, skema KPBU memerlukan pembagian risiko yang jelas antara kedua pihak.
“KPBU dulu susah didorong karena investor tidak percaya. Tapi sekarang sudah mulai jalan seperti proyek SPAM Umbulan, apalagi proyek jalan tol. Jadi lingkungannya mulai terbentuk,” kata Rainier.
Menurut Rainier, salah satu tantangan saat ini adalah pembebasan lahan. Hal itu memerlukan keterlibatan banyak instansi. Dengan dibentuknya Lembaga Manajemen Aset Negara dan kebijakan berupa talangan tanah, hal itu diharapkan mempercepat pembangunan infrastruktur.
Sementara itu, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengatakan, melalui pembangunan infrastruktur di berbagai daerah, diharapkan pusat-pusat ekonomi baru akan tumbuh. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur mesti diselaraskan dengan potensi masing-masing daerah.
Namun, pelaksanaan PSN memperlihatkan ketergantungan pembangunan infrastruktur hanya pada pendanaan yang bersumber dari pusat. Agar proyek tidak terhenti, perlu dipikirkan mengenai skema pembiayaan yang melibatkan pemerintah daerah atau swasta di daerah.
“Menurut kami, pembangunan infrastruktur itu harus mengikuti industri atau barang, bukan mengikuti orang. Dengan ada industri, baru berikutnya ada orang atau perumahan. Seperti KEK Bitung,” ujar Arif.
Ketua Umum Asosiasi Kontraktor Indonesia Budi Harto mengatakan, pihaknya akan memperbanyak uji sertifikasi untuk tenaga kerja yang bekerja di anggota AKI. Selain meningkatkan kompetensi, hal itu akan meningkatkan daya saing BUJK. (NAD)