Kelindan Ekonomi dan Politik
Ekonomi dan politik ibarat dua sisi mata uang, keduanya tidak terpisahkan. Dalam dunia dengan informasi sangat terbuka saat ini, ekspektasi tentang politik dapat berdampak sangat besar pada perekonomian.
Contoh paling mutakhir adalah dalam pelemahan nilai tukar mata uang negara-negara dengan ekonomi bertumbuh tinggi (emerging markets, EM) terhadap dollar AS. Persoalan utama berada di Argentina dan Turki, tetapi dampaknya melebar hingga ke negara-negara EM lainnya.
Krisis di Argentina berawal jauh sebelum Mauricio Macri menjadi Presiden Argentina pada Oktober 2015. Bertahun-tahun Argentina menghadapi masalah ekonomi, termasuk utang luar negeri yang besar untuk membiayai subsidi dalam negeri sebagai konsekuensi pilihan politik populis. Harga komoditas kedelai dan jagung yang baik membuat negara itu mampu melunasi utang luar negeri.
Pemerintahan Cristina Fernández de Kirchner (2007-2015) menghabiskan banyak uang untuk membangun infrastruktur, menasionalisasi sejumlah perusahaan, dan menyubsidi kebutuhan sehari-hari, mulai dari listrik hingga siaran sepak bola di televisi. Pemerintah juga mengontrol nilai tukar peso sehingga menumbuhkan pasar gelap dan mendistorsi harga.
Macri menjanjikan akan mengembalikan ekonomi mengikuti hukum penawaran-permintaan, bukan pemerintah, sebagai penentu harga. Ketika Bank Sentral Amerika Serikat awal tahun ini menaikkan suku bunga acuan, peso terdepresiasi lebih cepat dari target Macri dan inflasi melonjak. Bank Sentral Argentina merespons dengan melepas cadangan devisa dan menaikkan suku bunga acuan hingga terakhir menjadi 60 persen. Untuk menjaga likuiditas, negara itu terpaksa meminjam 57,1 miliar dollar AS dari Dana Moneter Internasional.
Investor di pasar keuangan menghukum Argentina dengan meninggalkan negara itu ketika mereka tidak yakin Bank Sentral dan pemerintah mampu mengendalikan inflasi. Hal ini semakin menekan nilai tukar peso.
Di Turki, fundamental perekonomiannya juga tidak terlalu kokoh. Campur tangan Presiden Erdogan meminta Bank Sentral Turki tidak menaikkan suku bunga menyebabkan investor pasar uang pergi dari negara itu. Situasi tidak bertambah baik karena Erdogan menunjuk menantunya menjadi menteri keuangan. Perseteruan diplomatik dengan Amerika Serikat soal penahanan pastor Amerika oleh Turki dan sanksi ekonomi AS berupa pengenaan tarif tambahan untuk impor besi dan aluminium Turki membuat investor melihat Turki tidak aman sebagai tempat berinvestasi.
Persepsi
Dua peristiwa yang jauh dan tidak berhubungan sama sekali ikut memengaruhi persepsi investor atas ekonomi Indonesia. Meskipun fundamental ekonomi Indonesia jauh lebih baik, yang diperlihatkan oleh inflasi yang rendah di kisaran 3 persen dan terjaga dari waktu ke waktu serta cadangan devisa yang memadai, pasar tetap memasukkan Indonesia ke dalam ”lima negara rapuh” (The Fragile 5).
Penamaan ”lima negara rapuh”, terdiri dari Afrika Selatan, Brasil, India, Indonesia, dan Turki, pertama kali digunakan Morgan Stanley untuk menggambarkan negara EM yang paling menderita akibat keluarnya investor pasar uang saat Bank Sentral AS tahun 2013 menyatakan akan memulai proses penghentian stimulus keuangannya dengan menaikkan suku bunga acuan.
Meskipun situasi membaik pada tahun 2016 ketika pemerintah tiap negara bekerja keras meningkatkan kinerja perekonomian dalam negeri, kenaikan suku bunga Bank Sentral AS tahun ini ternyata masih membuat guncangan pada mata uang kelima negara ini. Salah satu sebab adalah defisit transaksi berjalan yang membuat kebutuhan valuta asing tidak sejalan dengan pasokan dari ekspor. Tingginya kebutuhan valas adalah untuk membiayai impor dan membayar pinjaman pemerintah dan swasta.
Pemerintah Indonesia termasuk yang melakukan pinjaman jangka pendek, antara lain, melalui surat perbendaharaan negara untuk membiayai kebutuhan yang telah ada, sementara penerimaan baru akan datang beberapa saat kemudian.
Geopolitik
Kebijakan Presiden Donald Trump untuk mengutamakan hanya kepentingan dalam negeri AS menghasilkan perang dagang dengan China. Amerika mengenakan kenaikan tarif terhadap barang impor asal China. China membalas dengan menaikkan pula tarif impor untuk produk pertanian asal Amerika serta melemahkan mata uangnya agar produk manufakturnya tetap kompetitif.
Pembatalan sepihak oleh Amerika dalam pencabutan sanksi ekonomi terhadap Iran memicu kenaikan harga minyak mengingat Iran merupakan salah satu produsen utama minyak bumi utama dunia. Sistem keuangan dunia yang terkoneksi dengan Amerika membuat banyak lembaga keuangan tidak berani menerima transaksi keuangan yang berhubungan dengan Iran.
Indonesia yang telah menjadi pengimpor minyak bumi akan terpengaruh oleh kenaikan harga minyak dengan dampak berganda jika nilai tukar rupiah terhadap dollar tak kunjung menguat.
Dari dalam negeri faktor politik menjelang pemilihan presiden dan anggota legislatif tahun 2019 ikut membuat sejumlah usaha menunda penawaran saham perdana di pasar modal. Mereka menunggu siapa yang akan dipilih rakyat memimpin pemerintahan mendatang serta mengantisipasi kemungkinan terjadi kegaduhan politik. Ekonomi masih belum bisa lepas dari persepsi dan ekspektasi sehingga mengelola dua hal tersebut sama pentingnya dengan mengelola teknis ekonomi.