JAKARTA, KOMPAS — Rupiah jatuh semakin dalam, menyentuh Rp 15.088 per dollar AS pada Rabu (3/10/2018). Nilai tukar ini merupakan posisi terlemah baru tahun ini.
Satu-satunya solusi jangka pendek untuk menjaga nilai tukar rupiah agar tidak melemah kian dalam adalah melalui operasi moneter dan menaikkan suku bunga acuan. Pemerintah juga perlu lebih radikal mengurangi impor yang membutuhkan devisa besar.
Hal itu mengemuka dalam seminar ”Rezim Devisa dan Strategi Menghadapi Pelemahan Rupiah untuk Menjaga Stabilitas Perekonomian Nasional” yang digelar Fraksi Golongan Karya di Jakarta, Rabu (3/10/2018).
Hadir sebagai pembicara antara lain Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada A Tony Prasetiantono, mantan Menteri Koordinator Maritim Rizal Ramli, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir, dan Kepala Lembaga Penelitian Pengembangan dan Pengkajian Ekonomi Kamar Dagang dan Industri (LP3E Kadin) Didik J Rachbini.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Rabu (3/10/2018), nilah tukar rupiah melemah ke posisi Rp 15.088 per dollar AS. Rupiah diperdagangkan di pasar tunai pada kisaran Rp 15.065 per dollar AS-Rp 15.087 per dollar AS.
Perry mengatakan, BI telah menaikkan suku bunga acuan BI menjadi 5,75 persen. BI juga telah melakukan intervensi ganda di pasar valuta asing dan surat berharga negara untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Langkah-langkah moneter itu perlu dibarengi dengan gerakan bersama pihak-pihak terkait. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan mengurangi impor dan meningkatkan ekspor. Pelaku usaha diharapkan dapat menjual valas, sedangkan yang membutuhkan valas diminta tidak asal memborong valas.
”Pelemahan rupiah itu juga tidak menyebabkan kenaikan harga karena kapasitas ekonomi Indonesia masih cukup. Inflasi terjaga baik. Badan Pusat Statistik menunjukkan Indeks Harga Konsumen pada September 2018 terjadi deflasi sebesar 0,18 persen,” katanya.
Di sisi lain, lanjut Perry, ekspektasi para pelaku usaha terhadap inflasi juga positif. Mereka belum menaikkan harga barang dan lebih memilih mengurangi keuntungan dan efisiensi karena permintaan masih belum optimal.
Tony mengemukakan, BI perlu melihat kembali perlu tidaknya menaikkan suku bunga acuan. Dengan kondisi pelemahan rupiah seperti sekarang, suku bunga acuan BI belum terlalu atraktif bagi investor.
Bank sentral AS, The Fed, sudah menaikkan suku bunga sampai 200 basis poin. Sementara BI baru menaikkan 150 basis poin dari 4,25 persen ke 5,75 persen sehingga masih perlu menaikkan suku bunga agar lebih atraktif.
”Di sisi lain, pemerintah perlu lebih radikal mengurangi impor yang membutuhkan banyak devisa, terutama mengurangi proyek-proyek yang kandungan impornya tinggi. Pemerintah dapat bernegosiasi dengan China untuk menjadwalkan kembali pembanguan kereta cepat Jakarta-Bandung,” ujarnya.
Peluang
Kendati begitu, lanjut Tony, tahun depan Indonesia memiliki peluang karena tekanan terhadap rupiah diperkirakan sedikit mengendur. Ada dua faktor utama yang memengaruhi. Pertama, produksi minyak AS akan mencapai puncaknya pada 2020. Tahun depan, produksi minyak AS diperkirakan sudah dapat menambah pasokan global sehingga harga minyak dunia akan turun.
Kedua, The Fed tidak akan terlalu agresif menaikkan suku bunga acuan karena inflasi di AS mulai terjaga baik. ”Peluang ini perlu dimanfaatkan Indonesia secara lebih optimal, terutama dalam membuat dan melaksanakan kebijakan moneter dan fiskal untuk mengurangi defisit transaksi berjalan,” katanya.
Sementara itu, Rizal Ramli berharap agar pemangku kepentingan terkait berani mengubah rezim devisa bebas. Salah satunya adalah mewajibkan para eksportir untuk mencatatkan, menyimpan, dan mengonversi devisa hasil ekspor di perbankan nasional.
”Saya juga berharap agar 10 komoditas impor terbesar benar-benar dapat dikendalikan agar neraca perdagangan kembali surplus,” katanya.