Skema Progresif untuk Pajak dan Royalti Memungkinkan
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Skema penerapan pajak dan royalti yang progresif pada sektor tambang batubara dapat menjadi opsi dalam upaya mengendalikan produksi. Sebab, dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional, realisasi produksi batubara jauh melampaui yang sudah ditetapkan.
Tata kelola pertambangan batubara di Indonesia yang masih lemah membuat sektor ini rawan korupsi. Penerimaan negara juga rawan bocor.
Menurut Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia —koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas sumber daya ekstraktif— Maryati Abdullah, skema tersebut sudah diterapkan di sektor minyak dan gas bumi Indonesia. Bagian pemerintah (penerimaan) akan membesar seiring kenaikan harga komoditas, begitu pula sebaliknya. Skema tersebut efektif untuk mengendalikan produksi.
"Beberapa negara sudah menerapkan skema pajak dan royalti progresif. Dengan demikian, pengendalian produksi seperti yang disusun dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional menjadi terjaga," kata Maryati dalam diskusi bertajuk "Strategi Pengelolaan Batubara Nasional dan Tantangan Fiskal", Kamis (4/10/2018), di Jakarta.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019, produksi batubara diproyeksikan semakin berkurang. Pada 2015, produksi ditargetkan 425 juta ton, yang pada 2016 turun menjadi 419 juta ton. Kemudian, berturut-turut menajdi 413 juta ton (2017), 406 juta ton (2018), dan 400 juta ton (2019). Kenyataannya, produksi 2015 sebanyak 461 juta ton dan naik menjadi 456 juta ton (2016), 461 juta ton (2017), dan 485 juta ton dalam rencana 2018.
Terkait produksi batubara yang tak sesuai dengan RPJMN 2014-2019 itu, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Josaphat Rizal Primana mengatakan, hal itu disebabkan kebutuhan akan dollar AS yang mendesak. Hal itu bertepatan dengan harga batubara yang meroket dan defisit neraca perdagangan Indonesia.
"Semangatnya adalah bagaimana batubara ini menjadi penggerak industri di dalam negeri, bukan dijual untuk memperkuat energi negara lain. Dalam perjalanannya, kita membutuhkan uang tunai (dalam dollar AS). Kalau (batubara) tidak dijual, kita tidak punya uang," ujar Josaphat.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sri Raharjo menambahkan, selain kebutuhan devisa, produksi yang lebih besar dari proyeksi RPJMN disebabkan perubahan status izin usaha pertambangan (IUP) dari eksplorasi ke produksi. Apabila tidak dikabulkan, akan berdampak terhadap operasional perusahaan.
"Namun, tak semua usulan rencana kerja dan anggaran pemegang IUP menambah produksi disetujui. Kalau mereka ada tunggakan pajak dan royalti, tidak kami setujui (penambahan produksinya)," kata Sri.
Mengenai skema penerapan pajak dan royalti progresif, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia Hendra Sinadia mengatakan, skema tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut. Dengan sifat batubara yang harganya sangat fluktuatif, penerapan skema progresif bisa menjadi disinsentif bagi perusahaan. Pengeluaran pajak dan royalti yang lebih besar saat harga batubara tinggi akan menggerus kemampuan eksplorasi perusahaan.
"Bisnis ini sangat bergantung pada penemuan cadangan baru. Skema itu bisa mengurangi kemampuan perusahaan dalam menemukan cadangan baru. Ujung-ujungnya, negara turut dirugikan. Skema ini perlu kajian lebih lanjut," ujar Hendra.
Tahun ini, pemerintah menargetkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor mineral dan batubara sebesar Rp 32,1 triliun. Sampai dengan semester I-2018, perolehan PNBP sudah mencapai Rp 20,1 triliun. Pada 2017, perolehan PNBP mineral dan batubara mencapai Rp 40,6 triliun. Capaian itu jauh lebih tinggi dibanding perolehan 2016 yang sebesar Rp 27,2 triliun. (APO)