Peningkatan ekspor dan penanaman modal langsung bisa menjawab tantangan ekonomi akibat ketidakpastian global yang meningkat.
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan ketidakpastian global yang meningkat menyebabkan pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik melambat, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, respons kebijakan mesti diarahkan untuk memacu ekspor dan penanaman modal asing secara konsisten dan berkelanjutan.
Bank Dunia, dalam laporan perkembangan ekonomi Asia Timur dan Pasifik, Oktober 2018, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik tahun ini 6,3 persen. Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2018 ini lebih rendah daripada 2017 yang sebesar 6,6 persen.
Pelambatan itu dipicu moderasi pertumbuhan ekonomi China setelah pemberlakuan tarif impor oleh Amerika Serikat.
Adapun perekonomian Indonesia diproyeksikan tumbuh 5,2 persen pada 2018 dan 2019. Angka ini lebih rendah 0,1 persen daripada proyeksi yang dirilis Bank Dunia pada April 2018.
Pertumbuhan ekonomi RI diperkirakan meningkat secara gradual pada 2020 menjadi 5,3 persen, yang ditopang konsumsi domestik. Sementara konsumsi swasta dan investasi terdorong seusai Pemilihan Umum 2019. Tingkat inflasi tetap stabil pada kisaran 3,5 persen.
”Risiko pelambatan ekonomi bersumber dari eskalasi proteksionisme, harga komoditas non-energi yang turun, dan arus modal asing keluar dari negara berkembang,” kata Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik, Sudhir Shetty, dalam telekonferensi dari Manila, Filipina, Kamis (4/10/2018).
Pelambatan pertumbuhan ekonomi juga terjadi di Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia sampai dengan 2019. Salah satu penyebabnya, penurunan ekspor dan investasi. Selain itu, gejolak perekonomian global turut mengerek inflasi di Myanmar, Filipina, dan Vietnam.
Laporan Bank Dunia bertajuk ”Menjelajahi Ketidakpastian” itu juga menyoroti dampak ketidakpastian global terhadap pasar keuangan negara-negara berkembang. Depresiasi nilai tukar tetap terjadi selama arus modal asing terus keluar. Akibatnya, suku bunga utang naik dan pembiayaan utang lebih besar.
Kebijakan penyangga diperlukan agar gejolak ekonomi global tak meluas ke perekonomian domestik.
Menurut Sudhir, respons pemerintah mesti fokus pada kebijakan ekonomi penyangga jangka pendek agar ketidakpastian global tidak berdampak luas terhadap perekonomian domestik. Rumusan kebijakan makroprudensial diarahkan untuk memperdalam pasar keuangan dan memperbaiki keseimbangan neraca bank dan perusahaan.
Dampak gejolak ekonomi global juga bisa diredam melalui perjanjian perdagangan dan kerangka investasi antarnegara di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Kerja sama perdagangan dapat membuka akses ekspor lebih luas karena pengenaan tarif bea masuk lebih rendah.
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus terjadi, kendati fundamen ekonomi Indonesia cukup kuat. Nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Kamis, kembali menyentuh level terendah baru tahun ini, yakni Rp 15.133 per dollar AS.
Peluang ekspor
Kepala Ekonom Bank Dunia di Indonesia Frederico Gil Sander menyampaikan, defisit transaksi berjalan mesti diperbaiki secara konsisten dan berkelanjutan.
Kebijakan pemerintah difokuskan pada peningkatan ekspor dan investasi untuk memperbaiki transaksi modal yang selama ini menjadi tumpuan untuk menutup defisit transaksi berjalan.
Peluang ekspor lebih terbuka ketika rupiah melemah. ”Ekspor jasa bisa jadi andalan. Wisatawan kelas menengah atas dari China, Vietnam, atau India akan tertarik berlibur di Indonesia,” ujarnya.
Defisit transaksi berjalan RI sebesar 2,21 persen produk domestik bruto (PDB) pada triwulan I-2018, menjadi 3,04 persen PDB pada triwulan II-2018.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah tidak hanya fokus memperbaiki defisit transaksi berjalan, tetapi neraca pembayaran secara keseluruhan. Ketahanan ekonomi juga terus diperkuat. (KRN)