Bagi sebagian besar orang, kopi mungkin hanya sekedar minuman. Namun bagi orang Bali, kopi adalah bagian sejarah, budaya, dan pariwisata.
Setiap pagi, sebelum beraktivitas, orang Bali mebanten saiban (menggelar persembahan untuk leluhur) di mana salah satunya bisa jadi secangkir kopi.
Kopi, juga menjadi bahasa pergaulan. Pada masyarakat tradisional Bali, suguhan kopi memiliki arti. Suguhan cangkir pertama, adalah ucapan selamat datang. Lalu suguhan cangkir kedua, adalah penanda di mana tamu sudah disuruh pulang, karena kepentingan mereka dinilai telah usai.
Kopi juga mengikat masyarakat Bali dengan adat. Pada setiap 25 hari sebelum Hari Raya Galungan, orang Hindu Bali merayakan upacara Tumpek Uduh atau Tumpek Wariga, yakni upacara menyambut turunnya Sanghyang Sangkara, sang penjaga tumbuh-tumbuhan.
Pada saat itu, tepatnya saat Sabtu kliwon wuku wariga (210 hari sekali), warga di Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, akan memuja Sanghyang Sangkara di Pura Kopi Subak Abian Munduk. Pura Kopi Subak Abian Munduk dibangun tahun 1920-an.
Namun kisah sejarah itu lambat laun seakan terus meredup. Tergantikan dengan gemerlap dunia perkopian yang menonjolkan mahalnya peralatan kopi atau mewah dan indahnya kafe.
Di Bali, saat ini muncul gerakan anak-anak muda yang mencoba mengembalikan sejarah dan kisah muasal kopi, sebagai bagian dari kenikmatan meneguk kopi. Stanley Adi Rusli, head roaster dari Espresso Room Bali tak henti-hentinya menceritakan sejarah secangkir kopi pada pengunjung kafenya di Jalan Uluwatu, Jimbaran.
Kafe Stanley tidak sekedar menjual kopi. Ia menawarkan pertemanan (dengan mendengarkan keluh kesah pelanggan). Dengan menjadikan kafe sebagai ‘rumah terbuka’ bagi siapa saja, dan bagi segala persoalan, Espresso Room Bali tidak pernah sepi pembeli. Bahkan, wisatawan dalam dan luar negeri pun terus berdatangan. Espresso Room Bali bahkan dinobatkan sebagai salah satu kafe terbaik di Jimnbaran.
“Secangkir kopi bisa menggambarkan banyak hal. Baik sejarah, kisah hidup, dan pertemanan. Jika pengunjung mendapati semua itu, mereka merasa memperoleh nilai dari secangkir kopi. Berikutnya, mereka akan terus datang,” kata Stanley.
Adapun upaya menarik pelanggan lain dilakukan oleh Komang Sukarsana, pengusaha Bali Arabica. Ia menembus jaringan panitia Annual Meeting International Monetary Fund-World Bank Group Tahun 2018, agar kopi arabika Kintamani dijadikan sebagai souvenir. Kopi dikemas dalam sachet kecil 200 gram. “Saya berharap kopi arabika Bali menjadi semakin dikenal,” kata Sukarsana.
Hingga 2017, Bali memiliki dua kopi spesial bersertifikat indikasi geografis (IG), yakni kopi arabika Bali Kintamani dan kopi robusta Pupuan. Kopi arabika Bali Kintamani dibudidayakan di tiga kabupaten, yakni, Bangli, Buleleng, dan Badung. Adapun kopi robusta Pupuan terdapat di Kabupaten Tabanan.
Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Bali mencatat luas lahan kopi di Bali mencapai 35.490 hektar. Dua per tiga dari luas lahannya merupakan kebun kopi robusta, sedangkan sepertiganya lahan arabika.
Dalam buku berjudul “Bali Sekala and Niskala” volume II terbitan ketiga (1995), Fred B Eiseman Jr menyebutkan penanaman kopi di Bali dimulai tahun 1750-an, dengan jenis arabika.