JAKARTA, KOMPAS — Serapan produksi batubara Indonesia sangat bergantung pada kemampuan industri di dalam negeri. Sejauh ini, sebagian besar produksi batubara diekspor dan hanya sedikit yang diserap di dalam negeri untuk kebutuhan pembangkit listrik dan industri. Di satu sisi, hilirisasi batubara di dalam negeri masih banyak menemui kendala.
Pada 2014, misalnya, serapan batubara domestik hanya 16 persen atau 76 juta ton dari total produksi yang mencapai 458 juta ton. Kendati serapan terus meningkat sampai 2017 menjadi 97 juta ton, angkanya masih di kisaran 21 persen dari total produksi pada tahun tersebut yang sebanyak 461 juta ton. Tahun ini pemerintah menargetkan serapan batubara di dalam negeri sebanyak 114 juta ton dari target produksi 485 juta ton.
Menurut Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Josaphat Rizal Primana, pekerjaan rumah industri nasional adalah bagaimana sumber daya batubara dapat menjadi modal pembangunan. Sektor perindustrian harus punya arah yang jelas mengenai pemanfaatan batubara di dalam negeri. Pasalnya, batubara sampai saat ini jauh lebih banyak yang diekspor.
”Pekerjaan rumah itu adalah bagaimana batubara dapat menunjang kebutuhan industri di dalam negeri. Walaupun produksi batubara naik, selama serapan industri tinggi tidak masalah. Jadi, ini bergantung bagaimana industri nasional menyerapnya,” kata Josaphat, pekan lalu, dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Data dari Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) pada 2017, sektor industri adalah pengguna batubara terbesar kedua setelah PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Pada tahun itu, PLN menyerap batubara sebanyak 83 juta ton, sedangkan sektor industri, seperti semen, tekstil, pupuk, dan bubur kertas, hanya 13,7 juta ton. Sisanya diserap untuk kebutuhan metalurgi dan hilirisasi yang jumlahnya amat kecil.
Koordinator Nasional Publish What You Pay, koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas sumber daya ekstraktif, Maryati Abdullah, mengatakan, paradigma pemerintah dalam mengelola sumber daya alam belum sepenuhnya berubah. Sumber daya alam hanya dipandang sebagai sumber penerimaan devisa atau sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Idealnya, sumber daya alam harus menjadi modal penggerak pembangunan di dalam negeri.
”Belum lagi masalah tata kelola batubara yang masih sangat perlu pembenahan. Dalam rencana umum energi nasional, produksi batubara nasional tidak pernah dipatuhi. Begitu pula dalam hal potensi kebocoran penerimaan negara dari ekspor batubara lantaran lemahnya pengawasan,” ujar Maryati.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia, tata kelola batubara di Indonesia belum optimal lantaran masalah di lapangan sangat kompleks. Tentang upaya meningkatkan serapan batubara di dalam negeri, menurut dia, butuh usaha keras di tengah tingginya permintaan batubara oleh negara lain. Salah satu potensi mendorong peningkatan penyerapan batubara di dalam negeri adalah dengan menggalakkan hilirisasi batubara.
”Kadar kalori batubara di Indonesia didominasi dengan batubara kalori rendah. Sebenarnya ini berkah bagi gasifikasi batubara. Sayangnya, upaya tersebut kurang berjalan mulus,” ucap Hendra.
Dari catatan APBI, sejumlah permasalahan yang mengganjal program hilirisasi batubara di dalam negeri adalah nilai keekonomian hilirisasi yang butuh pembuktian lebih lanjut, insentif perpajakan, teknologi, dukungan pembiayaan dari bank, serta kendala rumitnya perizinan. Salah satu produk dari gasifikasi batubara adalah gas dimetil eter yang menjadi bahan baku elpiji. China bahkan berhasil memproduksi avtur dari gasifikasi batubara.