Jangan Tertinggal dalam Kompetisi
Dalam berbagai kesempatan, daya saing Indonesia terhadap negara-negara lain selalu disorot. Bahkan, dalam pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional Rencana Kerja Pemerintah 2019 di Jakarta, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo juga berkomentar mengenai hal itu.
Presiden mengingatkan ketertinggalan Indonesia dari negara-negara tetangga. Ketertinggalan itu terutama dalam hal investasi dan ekspor.
Perkembangan teknologi dan globalisasi akan menjadikan pihak yang cepat mengalahkan yang lambat. Malaysia, Thailand, dan Vietnam yang berlari cepat telah mengungguli Indonesia.
Apabila tidak hati-hati dan tidak berani melakukan lompatan, apalagi sampai terjebak pada rutinitas, birokrasi yang bertele-tele, dan perizinan yang ruwet, Indonesia bisa disalip Laos dan Kamboja.
Terkait hal tersebut, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menyampaikan, saat ini Indonesia posisi tertinggal dari beberapa negara tetangga. Namun, BKPM melihat, keharusan memenangi persaingan dari sisi pencapaian investasi dan ekspor tersebut menjadi tantangan sekaligus potensi. Jika negara tetangga bisa, seharusnya Indonesia juga bisa.
Thomas Lembong mengatakan, sebenarnya mengejar ketertinggalan lebih gampang karena tinggal meniru segala hal yang sudah dilakukan pihak yang saat ini ada di depan. Vietnam, yang lebih dulu menjalin perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa dan membuka diri dalam hal investasi, dapat menjadi salah satu contoh.
Perihal ekspor, mau tak mau kita harus menengok peran sektor industri pengolahan yang dapat meningkatkan nilai tambah. Pengalaman harga komoditas yang bisa anjlok -sehingga ikut memukul kondisi perekonomian- telah menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya upaya mendorong ekspor produk. Mesti diingat, ekspor ini bukan lagi semata-mata bahan mentah, namun ekspor produk yang bernilai tambah.
Akan tetapi, jangan lupa juga untuk menimbang peluang bahwa negara kompetitor juga tidak berdiam diri. Mereka juga berupaya meningkatkan daya saing dengan cara dan intensitas yang lebih jeli, atraktif, dan gesit.
Oleh karena itu, lompatan merupakan keniscayaan ketika ingin melipatgandakan kecepatan untuk mengatasi ketertinggalan.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam berbagai kesempatan menuturkan, Indonesia mesti menjadi pemain penting di era revolusi industri keempat ini atau industri 4.0. Menurut dia, beberapa tahun lalu Jerman mulai membuat industri 4.0. Sementara, India mengampanyekan Make in India. Adapun di ASEAN ada Thailand 4.0. Maka Indonesia meluncurkan Making Indonesia 4.0.
Making Indonesia 4.0 adalah strategi mengimplementasikan revolusi industri generasi keempat. Program ini diluncurkan pada 4 April 2018.
Ada berbagai konsekuensi yang diemban saat memutuskan untuk meluncurkan program terkait revolusi industri 4.0. Salah satunya, kesiapan sumber daya manusia untuk berperan dalam industri yang banyak dipengaruhi teknologi informasi itu.
Dinamis
Kompetisi semakin dinamis dan menantang. Kinerja industri akan selalu disorot, antara lain menimbang perannya terhadap perekonomian Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, industri pengolahan nonmigas pada triwulan II-2018 tumbuh 4,41 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan II-2017 yang sebesar 3,93 persen. Sektor manufaktur menyumbang 19,83 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Seperti pernah disampaikan Airlangga, salah satu harapan dari Making Indonesia 4.0 adalah mengembalikan kontribusi nilai ekspor sebesar 10 persen dari PDB dan membuka 10 juta lapangan kerja pada 2030.
Lima sektor industri prioritas telah ditetapkan sebagai percontohan penerapan industri 4.0. Kelima sektor itu adalah industri makanan dan minuman; tekstil dan pakaian; otomotif; elektronika; dan kimia.
Membangun industri memang bukan kerja instan. Perlu peran dan komitmen semua pihak, serta nafas yang panjang untuk menjaga industri terus tumbuh searah target.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani menyampaikan, tantangan Indonesia adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tantangan ini relevan jika disandingkan dengan kondisi ketenagakerjaan Indonesia saat ini.
Merujuk data Kementerian Ketenagakerjaan, tambah Rosan, lebih separuh dari 133 juta tenaga kerja Indonesia berpendidikan sekolah dasar (SD). Hanya 12-13 persen tenaga kerja berpendidikan diploma atau universitas.
Indeks pembangunan manusia ada di peringkat 116, sedangkan peringkat daya saing SDM Indonesia pada 2017 ada di peringkat 90 dari 118 negara.
Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk menghadapi persaingan, antara lain membenahi kekurangan. Meningkatkan daya saing merupakan salah satu cara menghadapi dan memenangi kompetisi itu.