Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia di Bali, 8-14 Oktober 2018, tak hanya mempertemukan tamu kenegaraan, investor, atau ekonom kelas dunia. Para pelaku usaha kecil dan menengah juga bertemu untuk memamerkan kekayaan warisan budaya Indonesia dari berbagai daerah.
Untuk pertama kali, Sugiarto (50), pengusaha dan pembatik tulis asal Lasem, Kabupaten Rembang, mengenalkan batik tulis Lasem ke orang asing secara langsung. Dibantu penerjemah, Sugiarto dan istrinya, Jumiati (45), menjelaskan proses pembuatan batik, mulai dari menggambar motif di selembar kain putih, menggunakan canting, hingga proses mewarnai.
"Meskipun enggak boleh jualan, kami bangga bisa mengenalkan batik tulis (secara) langsung," ujar Sugiarto.
Ia membawa berbagai jenis motif batik Lasem ke area pamer Indonesia Pavilion. Sugiarto membuat kartu nama untuk dibagikan kepada peserta atau delegasi yang hadir di pertemuan yang dihadiri 34.000 peserta itu, karena usaha kecil menengah (UKM) tidak boleh berjualan di area ruang pamer. Dengan cara itu, peserta atau delegasi yang tertarik dengan karya batik Sugiarto, bisa menghubunginya.
Bagi Sugiarto, kain-kain batik yang dipamerkan di Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 itu bisa memberi gambaran, batik yang diakui sebagai warisan dunia adalah batik tulis. Makna dan daya tarik warisan itu ada dalam proses pembuatannya yang memerlukan kesabaran dan kehati-hatian. Batik juga diyakini bisa menggeliatkan perekonomian Indonesia jika gencar dipromosikan.
"Potensi Indonesia banyak, cuma kadang tidak dimanfaatkan optimal," tutur Jumiati.
Di ruang pamer Indonesia Pavilion, banyak peserta dan delegasi asing tertarik pada batik Indonesia. Mereka bisa belajar membatik sederhana sesuai arahan Sugiarto. Beberapa orang bahkan membuat janji khusus untuk membeli batik atau berkunjung ke Lasem.
Lokasi ruang pamer yang dilintasi peserta dan delegasi pertemuan membuat karya perajin Indonesia mendapat perhatian besar.
Persoalan klasik
Di acara yang terdiri dari 2.000 pertemuan secara simultan ini, UMKM hadir dan tampil dengan karya mereka.
I Ketut Sumadi (53), pemilik galeri kerajinan perak Bara Silver asal Gianyar, Bali, pernah menikmati masa-masa jaya di akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Saat itu, dia mengekspor puluhan ribu unit perhiasan perak ke Kanada, Belanda, dan Jerman, rutin per pekan. Namun, sejak 2005, permintaan ekspor dari ketiga negara itu semakin lesu.
Sumadi kesulitan menutup biaya produksi jika hanya mengandalkan pasar dalam negeri. Ia menduga, permintaan dari sejumlah negara tersebut berkurang karena persaingan yang semakin ketat dengan pelaku bisnis serupa, namun dengan modal yang lebih besar.
Keterlibatannya dalam Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 untuk merebut dan memperluas pasar di Eropa. Hingga Selasa (9/10), Sumadi mengaku sudah didatangi sejumlah delegasi dan peserta pertemuan. Mereka berminat membeli produk Bara Silver untuk dijual kembali di negara mereka.
Asuransi dan digitalisasi
Dalam ajang itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah tengah mematangkan rencana membuat skema asuransi bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah-daerah rawan bencana. Selama ini, pembiayaan UMKM masih berkisar pada permodalan dan pendampingan kualitas.
Di daerah-daerah bencana, seperti Lombok (Nusa Tenggara Barat) dan Sulawesi Tengah, pemulihan UMKM juga sangat diperlukan, salah satunya melalui asuransi. "Sudah saatnya Indonesia berpikir jauh ke depan, untuk tidak saja menyiapkan sistem peringatan dini atau membantu ketika bencana terjadi. Namun, membangun perekonomian pascabencana perlu dilakukan," ujarnya.
Sri Mulyani menambahkan, Indonesia harus mengembangkan instrumen keuangan agar dapat mengatasi berbagai macam risiko yang dihadapi masyarakat, termasuk bencana.
"Maroko memiliki skema pembiayaan dan asuransi bencana UMKM dan perumahan," katanya.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memaparkan, Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Bali juga akan membahas ekonomi digital. Salah satu arahnya, mengembangkan UMKM untuk masuk ke dalam sektor ekonomi digital, baik dalam promosi, pemasaran melalui perdagangan elektronik, maupun pembiayaan berbasis teknologi finansial.
Fajrin Rashid, Co-Founder dan President Bukalapak berpendapat, tidak mudah bagi pelaku UMKM untuk menjual barang buatan mereka ke pasar luar negeri. Dia mengelompokkan kesulitan itu menjadi teknologi dan tata cara berjualan.
Fajrin menambahkan, Bukalapak akan bertemu dengan banyak mitra strategis yang memiliki kesamaan visi memajukan UMKM terjun ke digital. Contohnya, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau Indonesia Eximbank yang mulai 2018 menginisiasi program membantu pelaku usaha berorientasi ekspor serta Jumia Group yang berkontribusi terhadap kebutuhan perusahaan rintisan bidang e-dagang di Afrika.
Fajrin menyebutkan, Bukalapak memiliki 60 persen kategori produk lokal dan 40 persen impor. Produk buatan lokal ini ada yang diproduksi produsen lokal dan ada produk buatan lokal tetapi diperjualbelikan oleh pembeli yang menjual kembali. Dia mengamati, tidak semua produsen lokal memahami pemasaran secara daring. Oleh karena itu, mereka memerlukan pembeli yang menjual lagi.
"Pemerintah mesti memberdayakan UMKM, dari rantai produksi hingga pengemasan," katanya.
Ajang yang dihadiri peserta dari 189 negara ini berupaya memberanikan UMKM tampil di depan layar.