NUSA DUA, KOMPAS--Pemerintah Indonesia bersikap terbuka terhadap inovasi teknologi jasa keuangan. Bahkan, pemerintah berencana menerapkan regulasi yang ramah inovasi dan kebijakan perlindungan konten.
"Hampir 25 tahun lalu terjadi ledakan era internet modern. Internet modern lahir di Amerika Serikat yang menjalar ke seluruh dunia. Presiden AS Bill Clinton melalui regulasi ramah inovasinya membuat internet modern bisa muncul dan kini dipakai banyak kalangan," papar Presiden Joko Widodo saat membuka Diskusi Bali Fintech Agenda di rangkaian Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia 2018 di Nusa Dua, Bali, Kamis (11/10/2018).
Pengalaman semacam itu juga bisa diterapkan ketika teknologi jasa keuangan atau teknologi finansial (tekfin) muncul.
Presiden beranggapan, regulasi yang semakin ketat justru akan mendorong pasar gelap.
"Inovasi datang dari eksperimen. Eksperimen pasti mengalami peluang gagal. Ini alamiah, sehingga tidak wajar jika negara mengatur ketat di awal-awal inovasi," tegas Presiden.
Pada saat bersamaan, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Kelompok Bank Dunia meluncurkan Bali Fintech Agenda yang berisi 12 elemen kebijakan terkait teknologi keuangan. Bali Fintech Agenda bertujuan membantu negara-negara untuk memanfaatkan manfaat dan peluang dari kemajuan teknologi keuangan yang pesat. Kemajuan ini mengubah penyediaan layanan perbankan dan pengelolaan risiko.
Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde menyebutkan, sekitar 1,7 miliar orang dewasa di dunia tidak memiliki akses ke layanan keuangan. Teknologi jasa keuangan diyakini mempunyai dampak sosial dan ekonomi. Semua negara di dunia kini mencoba menggali manfaat tersebut sambil mengurangi potensi risiko yang muncul. Kerja sama internasional yang lebih besar dibutuhkan agar dampak positif dari teknologi jasa keuangan dicapai sebanyak mungkin orang, bukan hanya segelintir orang.
"Disrupsi teknologi digital bisa datang dari negara manapun, bukan dominasi dari negara tertentu. Berbicara teknologi jasa finansial berarti berbicara mengenai dukungan terhadap peningkatan produktivitas masyarakat," jelas Lagarde.
Presiden Grup Bank Dunia Jim Yong Kim menegaskan teknologi jasa keuangan penting untuk mengatasi persoalan kemiskinan. Beberapa negara telah memiliki perspektif yang sama mengenai hal itu, bahkan inovasi yang diciptakan sudah dengan pendekatan lokal atau menyesuaikan dengan kultur sosial masyarakat.
Selain masalah sosial, tambah Kim, teknologi digital membantu mengurai permasalahan layanan yang inefisien. Dicontohkan, infrastruktur teknologi blockchain yang diyakini mampu mendesentralisasi layanan sehingga ongkos operasional menjadi lebih efisien.
Blockchain menyerupai buku besar, terdistribusi dalam sistem komputasi yang bekerja secara sinkron pada jaringan. Setiap perubahan hanya bisa dilakukan secara kolektif. Perubahan atau transaksi yang dilakukan pada blockchain selalu tersimpan pada transaksi berikutnya.
Perilaku
Dalam kesempatan itu, Kim menyebutkan beberapa perusahaan tekfin dan perdagangan elektronik (e-dagang), misalnya Alibaba dan Ant Financial, yang mampu melayani konsumen secara masif. Kedua perusahaan ini menggunakan pendekatan memahami perilaku konsumen melalui teknologi digital.
"Kita harus meneguk manfaat sebanyak-banyaknya dari teknologi jasa keuangan, terutama mendukung inklusi keuangan bagi semua kelas masyarakat. Untuk menuju ke sana, pemerataan infrastruktur jaringan pita lebar jangan dilupakan," kata Kim.
Ekonom Pembangunan Afrika Selatan, Lesetja Kganyago, berpendapat, pemerintah semestinya bersikap cerdas dengan menyusun kebijakan yang ramah terhadap kehadiran tekfin. Dia mengungkapkan, salah satu bank sentral di Afrika telah mengeluarkan dua lisensi perbankan kepada perusahaan tekfin. Perusahaan itu memiliki beberapa produk keuangan menyerupai bank, tetapi dalam bentuk aplikasi.
"Penekannya kesetaraan akses serta efisiensi ongkos," ujarnya.
Chief Executive Officer Go-Pay, Aldi Haryopratomo, secara terpisah menyampaikan, saat ini regulator mengapresiasi kehadiran perusahaan rintisan bidang teknologi yang mengembangkan inovasi jasa keuangan menyerupai produk bank. Namun, regulator dinilai belum terlalu paham potensi risiko yang mungkin timbul dari produk keuangan digital. Padahal, inovasi teknologi bergerak kian cepat.
"Regulator mestinya berani membuat keseimbangan antara inovasi dan pengaturan," katanya. (MED)