Kafe tidak lagi menjadi sekadar tempat nongkrong dan menikmati kopi. Di Bali, kafe menjelma menjadi ruang sosial, tempat belajar kehidupan.
Kafe The Espresso Room Bali di Jalan Jimbaran, Badung, merupakan salah satu kafe unik yang tak lagi menjadi sekadar warung kopi, tetapi juga ruang sosial. Di kafe milik Stanley Adi Rusli ini pengunjung bisa curhat, menitipkan anak, tidur, dan menitipkan papan selancar, sementara pemiliknya pergi entah ke mana.
”Itu tidak dibuat-buat. Mereka percaya begitu saja dan merasa nyaman untuk berkeluh kesah kepada kami. Padahal, kami tidak tahu dan bukan siapa-siapa mereka,” kata Stanley. Namun, kunci utama kenyamanan pelanggannya adalah karena mereka semua merasa nyaman di sana.
Kafe yang dibangun pada 2015 itu tidak besar ataupun instagramable seperti kafe lain. Hanya ruang kecil dengan beberapa kursi di halamannya. Namun, semua orang bebas datang tanpa harus merasa terbebani. ”Ada pelanggan kami datang lalu tidur begitu saja hingga kafe tidak bisa tutup. Tapi, begitulah mereka.
Mereka hanya cukup dimengerti dan didengar. Jadi, setelah mereka bangun, saya akan tanya ia ingin minum kopi seperti apa atau minum lainnya,” kata Stanley.
Oleh karena banyak wisatawan asing datang ke kafenya, Stanley, yang juga chef, meramu kopi dengan aneka campuran, seperti kopi-bir, kopi-jeruk lemon, atau minuman lain. Saking nyamannya kafe ini, pengelola media sosial memasukkan The Espresso Room Bali menjadi satu dari tujuh kafe terbaik di Jimbaran.
Tempat unik lain yakni di Expat Roasters di Kerobokan, Kuta. Di sini, Shae Macnamara, barista andal Australia, membangun usahanya. Ia mengajak pelanggan kopinya tidak sekadar mengenal kopi sebagai biji kopi semata. Mereka diajak untuk belajar bahwa ada harapan dan petualangan di setiap biji kopi.
Rabu (10/10/2018), Shae menunjuk deretan kantong wadah biji kopi yang dipajang di etalase. Di setiap kantong kopi terdapat tempelan keterangan profil kopi, termasuk jenis kopi, daerah asal kopi, rasa kopi, sampai tempat sangrai kopi itu.
Shae mengatakan, kopi bukan hanya dagangan, melainkan kepingan kisah sekaligus harapan. Terdapat petualangan pada secangkir kopi. Ada harapan dari petani. ”Kisah kopi ini dimulai dari petani, lalu kopi masuk ke pedagang dan pengolah kopi, kemudian masuk ke toko kopi dengan para baristanya, sampai akhirnya ke tangan konsumen seperti Anda,” ujar Shae.
Ia selalu mengajak pelanggannya untuk tak hanya minum kopi, tetapi juga mengajak mereka berdiskusi dan mempelajari mata rantai kopi. Tujuannya, pelanggan menghargai secangkir kopi yang dibeli.
Ruang belajar
Oleh karena kafe itu sebagai tempat belajar, Shae pun kini merancang lantai dua kafenya sebagai ruang workshop atau ruang bagi pelanggan untuk menyeduh sendiri kopi yang akan diminumnya.
”Kami menyiapkan tempat training untuk brewer dan barista karena kami ingin para penyaji kopi semakin mahir. Pelanggan pun bisa belajar menyeduh kopi sendiri yang akan diminumnya,” kata Shae.
Pentingnya meningkatkan kualitas barista, menurut Shae, juga akan berdampak bagi semua rantai pasok kopi. ”Kami ingin kopi terus berkembang.
Sekarang pengusaha kopi sebenarnya lebih beruntung karena produk kopi dari petani semakin bagus kualitasnya. Namun, kemampuan barista juga dituntut lebih meningkat.
Jika kemampuan barista meningkat, akan menguntungkan semua orang. Petani untung, pengusaha untung, barista untung, dan ujungnya konsumen juga untung karena bisa menikmati kopi enak,” kata Shae.
Kafe sebagai ruang sosial lainnya adalah Bhinneka Djaja. Warung kopi di Jalan Gajah Mada, Denpasar, ini dikelola Wirawan Tjahjadi dan merupakan warisan turun-temurun. Tahun 1935, Bhinneka Djaja adalah pabrik kopi.
Hingga kini, warung kopi itu mengandalkan harga murah Rp 10.000 per cangkir dan menonjolkan keakraban suasana di dalam warung. Setiap orang, tanpa kenal, bisa duduk dalam satu meja, bercengkerama dan berbagi camilan.
Semakin maraknya kedai kopi yang tidak hanya menonjolkan kopi membuat pemilik warung kopi (termasuk di Bali) mengemas kafe jadi ruang sosial baru.
Menjadi wahana berkumpulnya aneka komunitas atau sekadar menjadi ruang berkumpul yang semakin jarang di tengah maraknya media sosial. (COK/DIA)