JAKARTA, KOMPAS - Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) menyoroti pengenaan tarif pelabuhan yang tidak sesuai dengan praktik internasional dan tidak memiliki dasar kesepakatan antara pelayaran dan operator pelabuhan. Tarif pelabuhan yang dimaksud adalah tarif jasa barang dan tarif progresif.
"Hanya di Indonesia, tarif jasa barang dikenakan kepada pelayaran, bukan ke pengirim. Seharusnya operator pelabuhan mengenakan tarif ini kepada pengirim (shipper) atau penerima (consignee) barang," kata Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto, di Jakarta, Kamis (11/10/2018).
Menurut Carmelita, operator pelabuhan mengenakan tarif jasa barang kepada pelayaran karena operator pelabuhan kerap memakan waktu yang lama untuk menerima pembayaran tarif jasa barang dari pengirim atau penerima. Kemudian operator pelabuhan menagihkan biaya ini kepada pelayaran agar pelayaran yang menagihkannya lagi ke pengirim atau ke penerima.
"Praktik ini memberatkan pelayaran karena pelayaran harus menanggung biaya lebih besar di awal. Dan hal ini tidak lazim dalam praktik bisnis di dunia pelayaran internasional," tegas Carmelita.
Sementara untuk tarif progresif, INSA menilai penerapannya tanpa berdasarkan service level agreement (SLA) atau service level guarantee (SLG) antara pelayaran dan operator pelabuhan. Kesepakatan SLA atau SLG seharusnya dibuat dengan menimbang perfomance pelabuhan dan pelayaran.
"Jika lambatnya produktivitas pelabuhan disebabkan oleh kinerja operator pelabuhan maka tarif progresif tidak bisa dibebankan kepada pelayaran, tetapi jika keterlambatan disebabkan pihak pelayaran tentunya tarif progresif menjadi beban pelayaran. Untuk itu, penerapan tarif progresif di pelabuhan tanpa adanya kesepakatan SLA atau SLG sulit diterapkan dan merugikan pelayaran. Kalau tidak ada SLA atau SLG, maka tarif tersebut sulit diterapkan," katanya.
Sekretaris Perusahaan PT Pelabuhan Indonesia II (Persero), Shanti Puruhita mengatakan Pelindo II sebagai pengelola terminal senantiasa tunduk kepada apa yg ditetapkan pemerintah. "Jadi apa pun yang menjadi keputusan pemerintah dalam hal penerapan tarif progresif menjadi kewenangan pemerintah dan IPC patuh menerapkannya," kata Shanti.
Menurut Shanti, kebijakan tarif progresif ini mendorong pemilik barang untuk segera mengeluarkan barangnya agar pengelolaan terminal menjadi efektif dan efisien. "Dalam hal terjadi ketidaksempurnaan pelayanan yang disebabkan operator maka pemilik barang diberi keringanan tarif setelah dilakukan evaluasi atas kejadian tersebut," kata dia.
Sementara itu, mengenai kelaikan peti kemas, Indonesia Maritime Logistic and Transportation Watch (IMLOW), meminta agar Kementerian Perhubungan fokus pada penindakkan dengan mendahulukan aspek keselamatan terhadap kegiatan inspeksi kelaikan peti kemas. "Sampai seberapa jauh kesiapan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub untuk penegakan hukum dengan diberlakukannya PM 53/2018," kata Sekjen IMLOW Achmad Ridwan Tento.
Dia mempertanyakan, penegakan hukum seperti apa yang akan diberlakukan, mengingat Peraturan Menteri Perhubungan No.53/2018 tentang Kelaikan Peti Kemas dan Berat Kotor Peti Kemas Terverifikasi ini tidak mencantumkan sanksi. Padahal dalam UU 17/2018 tentang Pelayaran yang menjadi dasar PM 53/2018 terdapat sanksi pidana dan perdata terhadap pelanggar kelaikan kontainer domestik maupun internasional yang beredar di Indonesia.
Selain itu, Ridwan juga mempertanyakan keputusan Ditjen Hubla untuk mendahulukan pemeriksaan petikemas internasional, bukan petikemas domestik. "Padahal dalam hukum tidak boleh ada diskriminasi, semua sama di depan hukum, baik kontainer internasional dan domestik harus mulai diperiksa pada saat PM 53/2018 diberlakukan pada awal 2019 yaitu enam bulan sejak beleid itu diterbitkan pada Juni 2018," tegas dia.