Merangkul Investor Minyak dan Gas
Pada 2025, konsumsi bahan bakar minyak nasional diperkirakan mencapai 2 juta barrel per hari. Kebutuhan sebesar itu melonjak dibandingkan dengan kebutuhan harian saat ini yang rata-rata 1,4 juta barrel per hari.
Dengan kemampuan produksi di dalam negeri hanya 700.000 barrel per hari, ketergantungan pada impor kian tinggi.
Pemerintah bersama PT Pertamina (Persero) selaku badan usaha mencoba mengatasinya dengan proyek yang dinamai revitalisasi kilang (refinery development master plant/RDMP). Program RDMP ini ditujukan untuk lima kilang Pertamina yang sudah ada saat ini, yaitu kilang Cilacap di Jawa Tengah, Balongan di Jawa Barat, Dumai di Riau, Balikpapan di Kalimantan Timur, dan Plaju di Sumatera Selatan.
Tujuan utama program RDMP adalah meningkatkan kapasitas dan kompleksitas kilang.
Dengan kebutuhan investasi yang diperkirakan sebesar Rp 250 triliun, Pertamina terkesan kesulitan memenuhi pendanaan sebanyak itu sendirian. Oleh karena itu, pemerintah membolehkan Pertamina bekerja sama dengan swasta.
Informasi per 12 Oktober 2018 di laman Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), status revitalisasi kilang Balongan dan Dumai masih mencari mitra atau investor.
Adapun status dua kilang lainnya, yakni Balikpapan dan Cilacap, belum tampak kemajuan yang berarti. Status kedua kilang itu disebutkan bahwa pada bagian pendanaan belum terlaksana. Rencana menggandeng mitra pada kilang Cilacap, yakni Saudi Aramco, belum menunjukkan tanda-tanda yang terang. Sementara, pada kilang Balikpapan sedang dilakukan perbaikan analisis mengenai dampak lingkungan.
Bagaimana dengan rencana membangun kilang baru?
Ya, selain merevitalisasi kilang-kilang yang sudah ada, Pertamina juga sedang menggodok megaproyek pembangunan dua kilang baru. Kedua kilang itu adalah kilang Bontang di Kalimantan Timur dan kilang Tuban di Jawa Timur.
Kilang Bontang direncanakan berkapasitas 300.000 barrel per hari dengan investasi Rp 198 triliun. Sementara, kilang Tuban yang disiapkan berkapasitas 300.000 barrel per hari memerlukan investasi hingga Rp 200 triliun.
Gandeng swasta
Secara keseluruhan, total investasi yang diperlukan untuk merevitalisasi lima kilang yang sudah ada dan membangun dua kilang baru membutuhkan dana hampir Rp 650 triliun. Investasi senilai ini adalah investasi jumbo yang tak mungkin ditanggung Pertamina sendirian.
Maka, keputusan Pertamina menggandeng mitra dari negara lain, Rosneft (perusahaan migas Rusia), untuk kilang Tuban dinilai tepat.
Sesungguhnya, bagaimana peluang swasta untuk bisa terlibat dalam bisnis pembangunan kilang di Indonesia?
Sebenarnya, peluang itu sangat luas. Payung hukum tentang peluang swasta membangun kilang di Indonesia sudah ada. Begitu pula pasarnya. Defisit minyak dan bahan bakar minyak (BBM) sudah cukup membuktikan hal tersebut.
Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 35 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak di Dalam Negeri oleh Badan Usaha Swasta, peluang itu terbuka lebar. Bahan bakunya (minyak mentah) bisa didatangkan dari dalam negeri atau impor. Peluang ini cocok bagi negara-negara kaya minyak seperti Rusia atau negara Timur Tengah lainnya.
Bagaimana dengan pasar? Sepanjang 2017, impor BBM oleh Pertamina sebanyak 138,88 juta barrel. Belum lagi impor minyak mentah pada 2017, yang sebanyak 134,54 juta barrel.
Hal ini menunjukkan penggunaan BBM yang tinggi di Indonesia.
Dalam peraturan menteri itu disebutkan, investor swasta yang membangun kilang diperbolehkan menjual produk kilang berupa BBM di dalam negeri. Artinya, peluang berbisnis di pengolahan (mid stream) sekaligus hilir (down stream) sangat terbuka lebar dengan pasar yang jelas.
Memang, investasi kilang membutuhkan dana sangat besar, hingga ratusan triliun rupiah. Hanya investor yang benar-benar bonafid yang mau berinvestasi.
Akan tetapi, dengan pangsa pasar yang jelas, sebenarnya potensi masuknya swasta dalam proyek pembangunan kilang menjadi tidak susah.
Selain itu, pemerintah menjanjikan kemudahan bagi swasta yang berminat untuk berbisnis di sektor ini. Kemudahan itu berupa insentif fiskal dan non fiskal sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku. Janji kemudahan itu tertuang dalam Pasal 4 Ayat a pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 35/2016 tersebut.
Selain janji insentif fiskal, pemerintah sebaiknya mendukung upaya menarik investor dengan menghilangkan hambatan-hambatan investasi di lapangan. Hambatan di sektor migas, antara lain, kerumitan pembebasan lahan.
Pembebasan lahan di Indonesia ibarat momok menakutkan bagi hampir seluruh proyek infrastruktur. Begitu juga birokrasi perizinan yang harus disederhanakan dan dimudahkan.
Apabila seluruh faktor tersebut, yakni insentif fiskal dan hambatan di lapangan bisa diatasi, tidak menutup kemungkinan investasi bidang pengolahan minyak dan penjualan BBM di Indonesia akan menarik. Selanjutnya, tinggal cara pemerintah bagaimana mneyosialisasikan peluang tersebut kepada swasta.