Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Perekonomian syariah, secara global maupun nasional, terus tumbuh. Kendati demikian, pertumbuhan ekonomi syariah secara nasional terkesan statis, yakni berkisar 5 persen dari seluruh pangsa pasar keuangan nasional.
Padahal, mengutip Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro, Indonesia berpotensi besar mengembangkan ekonomi syariah. Eksosistem gaya hidup halal diyakini bisa menopang penetrasi keuangan syariah.
Bahkan, menurut Bambang, melalui implementasi strategi yang tepat, industri gaya hidup halal domestik mampu menembus pasar global. “Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain dunia,” katanya.
Mengutip hasil riset State of the Global Economy Report, jumlah uang yang dibelanjakan untuk gaya hidup syariah secara global pada 2016 sebesar 2 triliun dollar AS. Angka ini diprediksi melonjak menjadi 3,1 triliun dollar AS pada 2022.
Perhitungan itu berdasarkan pengeluaran untuk berbagai macam produk, termasuk makanan ringan, busana sederhana, kosmetik halal, dan perjalanan halal serta produk farmasi.
Namun, Direktur Indonesia Halal Lifestyle Center Sapta Nirwandar, berpendapat, Indonesia punya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mendorong industri halal domestik memasuki ranah global. Sebab, sebagai negara yang termasuk dalam lima besar konsumen produk halal global, ekosistem di dalam negeri belum mampu menopang pelaku industri lokal menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
“Pelaku usaha menunggu insentif dari pemerintah. Insentif ini tidak melulu pendanaan, tetapi juga dukungan regulasi,” ujar Sapta.
Menurut dia, Indonesia perlu membangun ekosistem yang mendukung pertumbuhan industri halal. Saat ini, banyak sektor yang seharusnya terintegrasi, namun masih bekerja sendiri-sendiri.
“Pemerintah perlu menyiapkan peraturan yang mendukung, serta kebijakan dan peta jalan yang lebih teknis dan implementatif,” ujarnya,
Ekspor produk halal Indonesia 35,4 miliar dollar AS atau 21 persen dari total ekspor Indonesia pada 2017. Nilai itu setara Rp 531 triliun.
Namun, ekspor Indonesia masih bertumpu pada produk berbasis sumber daya alam, seperti minyak sawit dan turunannya. Pasar terbesar ekspor produk halal Indonesia adalah China dan India.
Banjir impor
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah, saat ini mudah sekali menemukan produk-produk asing berlabel halal di pasar Indonesia. Label halal tersebut diperoleh, baik dari negara asal maupun dari lembaga otoritas halal Indonesia,
Salah satu faktor membanjirnya produk halal impor, lanjutnya, adalah kurangnya perhatian pemerintah dalam memberikan fasilitas bagi industri halal dalam negeri. Selain itu, tidak banyak pelaku usaha Indonesia yang berorientasi pada produksi.
Elidawati Ali Oemar, pendiri dan CEO Elcorps dengan merek mode halal seperti Elzatta Hijab dan Zatta Men, sepakat, saat ini pasar domestik terlalu mudah ditembus produk ekspor.
Dia mengaku sempat mendapat tawaran dari salah satu merek mode asal Turki untuk bekerja sama menjual produk. Jika Elidawati bersedia memasarkan produk tersebut dalam empat tahun, ia berhak mengantungi 50 persen dari nilai penjualan.
“Karena saya punya idealisme, saya tolak tawaran tersebut. Tapi sayangnya, belakangan produk itu mudah ditemukan di pasar domestik. Artinya, ada saja pelaku usaha lokal yang menerima tawaran itu,” kata Elidawati.
Elidawati meyakini, dukungan pemerintah berperan besar dalam pemasaran produk halal. Namun, sampai saat ini, dukungan tersebut dinilai masih langka.
“Kami butuh dukungan pemerintah. Jika tidak bisa memberi dukungan pendanaan, minimal kami mendapat dukungan regulasi yang bisa memudahkan usaha, sehingga produk lokal bisa jadi tuan rumah di negara sendiri,” ujarnya.
Punya ruang
CEO Dinar Standard Uni Emirat Arab, Rafiuddin Shikoh, berpendapat, Indonesia masih memiliki banyak ruang untuk meningkatkan penetrasi di industri halal global. Saat ini, pangsa pasar produk halal Indonesia di pasar global sekitar 3,3 persen atau 7,6 miliar dolar AS.
“Selain ekspor yang kecil, tantangan bagi pengembangan industri halal di Indonesia adalah terlalu mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan produk halal,” ujarnya.
Berdasarkan data State of Global Islamic Economy Report 2017-2018, potensi terbesar Indonesia ada pada industri makanan halal. Secara spesifik, sektor makanan halal Indonesia pada 2016 mencapai 169,7 miliar dolar AS atau 13,6 persen dari total pangsa pasar global. Pada 2022, diprediksi meningkat menjadi 263,1 miliar dolar AS.
Bambang PS Brodjonegoro memastikan komitmen pemerintah memperluas rencana aksi untuk memperdalam penetrasi industri syariah akan dieksekusi Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS).
Logikanya, sektor keuangan syariah akan bergerak cepat jika sektor riil syariah tumbuh. Namun, ada catatan penting, yakni produk-produk halal lokal mesti bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.