Indonesia masih menjadi tempat yang menarik untuk berinvestasi. Namun, Pemerintah RI mesti berhati-hati memilih investasi untuk mencegah ketidaksesuaian nilai tukar.
NUSA DUA, KOMPAS Keberhasilan Indonesia mengantongi investasi langsung dan tidak langsung mesti diimbangi tata kelola yang lebih efektif dan terukur. Dengan cara itu, percepatan pembangunan bisa segera terealisasi kendati ketidakpastian ekonomi dan keuangan global masih membayangi.
Dalam Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia 2018, 8-14 Oktober, Indonesia mengantongi investasi 13,5 miliar dollar AS atau setara Rp 202,5 triliun melalui 14 perusahaan BUMN. Investasi itu akan digunakan untuk mengembangkan proyek infrastruktur.
Dari investasi itu, sekitar 80 persen menggunakan skema kemitraan strategis antara BUMN dan investor. Adapun sisanya berupa investasi melalui pasar modal dan pembiayaan proyek.
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Ari Kuncoro kepada Kompas, Senin (15/10/2018), mengatakan, investasi di Indonesia cukup menarik dan menjanjikan. Sebab, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak berdampak signifikan terhadap biaya premi dari credit default swap. Situasi ini berbeda pada 2015 ketika pelemahan rupiah menyebabkan biaya premi naik drastis.
Sebagian besar kerja sama investasi yang disepakati berupa ekuitas, surat utang, dan obligasi bersifat jangka panjang sehingga cukup stabil untuk neraca pembayaran. Namun, pemerintah tetap harus hati-hati memilih instrumen investasi agar tidak terjadi ketidaksesuaian nilai tukar akibat tekanan ekonomi global. Risiko ketidaksesuaian nilai tukar bisa diperkecil jika kedua pihak menggunakan mata uang yang sama, terutama dollar AS, yang difasilitasi lindung nilai.
Selain itu, lanjut Ari, pemerintah juga harus berhati-hati dalam memilih proyek investasi. Di tengah kondisi ketidakpastian keuangan dan keuangan global, investasi yang dipilih harus berorientasi ekspor dan mendukung pembangunan nasional. Adapun waktu pembangunan infrastruktur disarankan tidak jangka panjang agar dampaknya terhadap perekonomian nasional segera dirasakan.
”Perjanjian investasi diarahkan agar menghasilkan devisa cepat dan berkelanjutan,” kata Ari.
Risiko ditekan
Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) Emma Sri Martini mengatakan, risiko investasi ditekan melalui fasilitas lindung nilai syariah.
Tujuannya, memitigasi risiko volatilitas nilai tukar rupiah dan mengelola keuangan dengan hati- hati. Lindung nilai syariah juga bisa menambah likuiditas valuta asing dalam negeri dan pendalaman pasar keuangan syariah.
”Lindung nilai juga termasuk alternatif pendanaan yang di lakukan PT SMI. Selain pasar modal, sumber pendanaan juga bisa berasal dari dalam dan luar negeri serta perbankan,” katanya.
PT SMI dan PT Bank Maybank Indonesia Tbk bermitra dalam lindung nilai syariah senilai 128 juta dollar AS atau setara Rp 1,92 triliun dalam Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, Jumat (12/10).
Lindung nilai berbasis syariah yang diterbitkan Maybank Indonesia ini dilakukan melalui prinsip pertukaran dua valuta asing dalam jangka waku tertentu. Prinsip yang digunakan adalah transaksi lindung nilai kompleks dan transaksi lindung nilai sederhana.
Selain investasi, Indonesia juga memperoleh hibah dan pinjaman dari sejumlah institusi untuk mempercepat pemulihan pascabencana di Sulawesi Tengah dan Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pinjaman masih dalam tahap penawaran. Besaran dan waktu penarikan pinjaman tidak dibahas dalam waktu dekat karena pemerintah masih akan menggunakan sisa APBN 2018.
Di sisi lain, penarikan pinjaman dilakukan secara hati-hati dengan menyesuaikan penerimaan perpajakan negara untuk mencegah defisit APBN melebar. ”Penarikan pinjaman mempertimbangkan situasi ketidakpastian global, kenaikan suku bunga acuan, dan pengetatan likuiditas. Pada 2019, pemerintah memulai skema pembiayaan dan asuransi risiko bencana,” ujarnya.
Indonesia mendapat pinjaman penanganan bencana dari Bank Dunia 1 miliar dollar AS, Bank Pembangunan Asia (ADB) 1 miliar dollar AS , dan Pemerintah Jepang 24 juta yen. (KRN)