Pada akhir tahun ini, jalan tol Trans Jawa antara Merak sampai Probolinggo sepanjang 995 kilometer ditargetkan tersambung. Tahun ini, 10 bendungan direncanakan selesai dibangun, sedangkan tahun depan 11 bendungan ditargetkan selesai.
Jalan tol dan bendungan merupakan contoh proyek infrastruktur yang memerlukan pembebasan lahan yang besar. Kapasitas jalan tol dan bendungan berbanding lurus dengan kebutuhan lahan. Semakin besar atau panjang infrastruktur, semakin luas tanah yang diperlukan.
Sebagai gambaran, untuk proyek jalan tol yang termasuk proyek strategis nasional, Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) membebaskan 20.321 bidang lahan senilai Rp 13,24 triliun pada 2016. Tahun 2017, sebanyak 12.231 bidang lahan dibebaskan dengan nilai Rp 10,45 triliun. Untuk bendungan, hingga 7 September 2018, 3.940 bidang lahan dibebaskan dengan anggaran Rp 1,266 triliun. Per 5 Oktober, untuk anggaran 2017, LMAN telah menyalurkan Rp 12,148 triliun untuk pembebasan lahan jalan tol, bendungan, dan pelabuhan.
Pembebasan lahan bergulir lebih pasti dengan Undang-Undang Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Berdasarkan UU tersebut, proses pengadaan tanah mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan, beserta sengketa yang kemungkinan timbul, telah diatur. Waktu yang dibutuhkan dalam setiap tahap juga jelas, misalnya pendataan awal maksimal 30 hari, penetapan lokasi oleh gubernur maksimal 14 hari, hingga waktu yang diperlukan untuk pengadilan dalam memutus bentuk atau besarnya ganti kerugian maksimal 30 hari.
Namun, pelaksanaan di lapangan tak selalu mulus. Misalnya, akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi, pemilik lahan tidak mengikuti proses pengadaan lahan sedari awal, sehingga hanya pasif atau diam. Sementara, proses pengadaan lahan terus berjalan. Akibatnya, pembebasan lahan mesti menempuh konsinyasi di pengadilan.
Di sisi lain, petugas di lapangan menghadapi kendala yang mungkin tidak terpikir sebelumnya, seperti ketika dana sudah akan diserahkan, ternyata lahan itu jadi jaminan kredit bank. Contoh lain, dana lahan belum bisa diberikan karena lahan masih menajdi sengketa.
Oleh karena itu, Komite Percapatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) memasukkan tahap pembebasan lahan sebagai satu dari tiga isu besar dalam percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Sebagai tahap mendasar dalam pembangunan, isu pembebasan lahan menyumbang sebesar 30 persen dari seluruh masalah pembangunan infrastruktur. Masalah berikutnya adalah perencanaan dan penyiapan proyek, selanjutnya pendanaan.
Proses pembebasan lahan yang rumit juga memengaruhi keyakinan investor untuk berinvestasi di proyek infrastruktur, terutama yang memerlukan pembebasan lahan, misalnya jalan tol. Kendati industri jalan tol semakin berkembang yang ditandai dengan banyaknya ruas prakarsa oleh swasta, kebanyakan investor masih enggan masuk ke proyek yang masih dalam perencanaan. Apalagi, jika proyek tersebut memerlukan pembebasan lahan yang besar. Ketidakpastian keberlanjutan proyek menjadi risiko yang sangat diperhitungkan investor.
Investor lebih nyaman untuk berinvestasi ke proyek yang sudah beroperasi, antara lain melalui divestasi ruas tol atau melalui sekuritisasi pendapatan jalan tol. Adapun pinjaman luar negeri untuk infrastruktur, misalnya dari China, baru akan dicairkan jika lahan sudah dibebaskan dalam luasa tertentu.
Pembangunan infrastruktur di Indonesia perlu dipercepat. Namun, pelaksanaannya mesti sesuai dengan asas kemanusiaan dan keadilan sebagaimana dalam UU tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pembangunan tanpa dasar kemanusiaan dan keadilan hanya akan menambah ketimpangan kesejahteraan. (Norbertus Arya Dwiangga)