JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah tetap merealisasikan uji coba penempatan pekerja migran sektor domestik secara satu kanal ke Timur Tengah. Sikap ini dinilai kurang sesuai dengan semangat perlindungan hak pekerja yang digaungkan sendiri oleh pemerintah.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, Rabu (17/10/2018), di Jakarta, menilai, tidak ada transparansi dalam proses pembahasan realisasi uji coba penempatan. Ia mengilustrasikan, diskusi substansi perjanjian kerja sama dengan pemerintah negara tujuan penempatan tidak melibatkan konsultasi publik. Jika ada dokumen yang dibagikan, isinya tidak detail.
Pembangunan hulu-hilir penempatan pekerja yang aman juga belum sepenuhnya terjadi. Dia mencontohkan, kasus percaloan di salah satu Layanan Terpadu Satu Atap. Padahal, niat pendirian kantor layanan itu adalah mengajak calon pekerja mengurus sendiri kebutuhan administrasi penempatan tanpa calo.
Wahyu mengkhawatirkan konsep satu kanal, karena ada potensi kecurangan terkait perusahaan pelaksana penempatan yang diperbolehkan mengikuti program uji coba.
"Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 bertujuan menghentikan dan melarang. Ada hal yang ambigu ketika pemerintah sekarang berniat merealisasikan uji coba. Dengan kata lain, peraturan itu sebatas judul, sementara praktiknya mengijinkan pemberangkatan," tambahnya.
Sebelumnya, pada Juni 2018, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah menyuarakan rencana uji coba penempatan pekerja migran sektor domestik ke Timur Tengah. Tiga negara sasaran yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar.
Kemudian, pada tanggal 11 Oktober 2018, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri dan Menteri Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial Kerajaan Arab Saudi Ahmed Bin Suleiman bin Abdulaziz al Rajhi menandatangani perjanjian kerja sama penempatan pekerja migran sektor domestik satu kanal. Perjanjian kerja sama itu memuat 21 poin, antara lain kerja layak, gaji ditransfer melalui perbankan, dan sistem syarikah atau pekerja bekerja pada perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah.
Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kemnaker Soes Hindharno yang dihubungi secara terpisah, kemarin, menegaskan, setelah penandatanganan kerja sama masih ada proses pembahasan teknis lebih detil bersama Kementerian Luar Negeri. Selama proses itu hingga hasil keluar, publik diperbolehkan memberi masukan.
"Kami tidak menutupi apa pun (dari publik). Apa yang Kementerian Ketenagakerjaan lakukan bersama Kementerian Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial ini bersifat uji coba penempatan pekerja migran sektor domestik secara terbatas. Artinya, jumlah pekerja yang dikirim menyesuaikan kemampuan Indonesia, enam kota di Arab Saudi, dan evaluasi setiap tiga bulan," kata dia.
Enam kota yang dia maksud yaitu Jeddah, Madinah, Riyadh, Damam, Qobar, dan Dahran. Pengurusan dokumen pemberangkatan calon pekerja pun harus melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). Perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang ingin menempatan perlu memasukkan terlebih dahulu lowongan pekerjaan ke LTSA. Pemerintah melalui Kemnaker akan menilai dan menyeleksi PPTKIS yang layak. Calon pekerja pun wajib bersertifikat kompetensi.
Menurut Soes, pemerintah Arab Saudi pun akan menilai dan menyeleksi perusahaan - perusahaan yang tepat mendistribusikan pekerja migran Indonesia. Dengan kata lain, pemerintah kedua negara telah berkomitmen mengutamakan kerja layak. Pada awal November 2018, Kemnaker baru membuka, menyaring, dan menilai PPTKIS yang sudah memasukkan lowongan pekerjaan ke LTSA.
Soes memastikan, kerja sama penempatan pekerja migran sektor domestik ini tidak menyalahi Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah. Ada 19 negara Timur Tengah masuk dalam daftar moratorium itu. (MED)