JAKARTA, KOMPAS -- Perekonomian negara berkembang dinilai lebih rentan pada saat Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO tengah menghadapi polemik. Dalam keadaan seperti itu, Indonesia berpotensi menjadi panutan negara-negara berkembang dalam mempertahankan perekonomiannya.
Polemik itu, menurut Distinguished University Professor of Global Affairs University of Central Florida sekaligus Mantan Chairman Appelate Body WTO James Bacchus, dipicu keputusan-keputusan Amerika Serikat (AS) yang menentang aturan-aturan WTO.
"AS telah mengambil tindakan perdagangan yang bersifat unilateral dan ilegal. Saat ini, WTO tengah mengalami krisis eksistensi karena AS menghalangi pemilihan juri dalam Appelate Body WTO yang kini jumlahnya telah mencapai batas minimal, yakni hanya tiga orang," tuturnya dalam seminar nasional yang diadakan di Jakarta, Kamis (18/10/2018).
Dalam rangka mengatasi krisis itu, beberapa pekan lalu James telah mengusulkan 163 dari 164 negara anggota WTO bersatu menghadapi taktik AS. Jika persatuan itu tercapai, dia memprediksi, AS akan kalah dalam banyak sengketa perdagangan internasional.
Urgensi persatuan itu juga mesti hadir di tengah negara-negara berkembang yang perekonomiannya lebih rentan dalam menghadapi krisis WTO saat ini. Sebab, ketidakpastian dalam investasi dan keputusan bisnis cenderung meningkat. "Dalam hal ini, peran Indonesia sangat dibutuhkan dalam menjadi panutan bagi negara-negara berkambang," kata James.
James berpendapat, Indonesia selama ini telah menjadi pemimpin dalam membangun keberlanjutan hukum dagang internasional. Untuk menegaskan peran penting itu, Indonesia perlu melanjutkan produktivitas dan partisipasinya dalam menjunjung sistem perdagangan WTO.
Peran dan partisipasi itu dapat terwujud dalam komitmen Indonesia untuk menyesuaikan regulasi perdagangan internasionalnya dengan aturan WTO. Menurut James, tidak ada negara yang perekonomiannya berhasil dalam jangka panjang tanpa membuka diri terhadap kebijakan perdagangan yang berlaku di kancah global.
Untuk mengkonkretkan komitmen itu, Kepala Biro Advokasi Perdagangan Kementerian Perdagangan Sondang Anggraini mengatakan, langkah pertama yang diambil adalah menyesuaikan sejumlah aturan yang melibatkan perdagangan internasional. Berdasarkan klasifikasinya, ada empat kelompok peraturan yang terdiri dari, konten lokal di bidang ritel modern, sektor energi, dan ponsel 4G LTE serta hukum industri dan perdagangan.
Sondang mengharapkan, bentuk penyesuaian aturan dari kementerian dan lembaga teknis terkait berupa pengubahan diksi sehingga tetap dapat melindungi produk-produk domestik.
"Kami berkomitmen untuk tetap melindungi produsen dalam negeri, seperti peternak dan petani. Oleh sebab itu, pilihan kata dalam penyesuaian aturan seharusnya lebih berorientasi pada kesejahteraan (produsen dalam negeri) atau lingkungan hidup dan tidak bersifat pembatasan dalam perdagangan internasional," paparnya.
Menurut Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo, penyesuaian aturan itu bertujuan mengamankan kebijakan nasional sebagai pijakan pembangunan negara, namun dapat selaras dengan aturan WTO. Dia menyoroti, posisi Indonesia di peringkat keempat sebagai negara yang paling diinvestigasi sepanjang 1995-2017.
Iman menyatakan, investigasi itu seringkali berkaitan dengan instrumen antisubsidi sebagai salah satu bentuk trade remedies. Hingga 2017, Indonesia telah mengalami penyelidikan antisubsidi sebanyak 486 kali yang diinisiasi oleh negara-negara anggota WTO.
Secara umum, Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Pradnyawati menambahkan, untuk menegaskan posisi Indonesia sebagai anggota WTO, pihaknya akan mempelajari mekanisme arbitrase untuk menyelesaikan sengketa-sengketa perdagangan. Dia ingin menunjukkan, Indonesia dapat menjawab tantangan perdagangan internasional yang saat ini tengah dihadapi. (JUD)