JAKARTA, KOMPAS – Jumlah aktuaris yang bekerja di industri keuangan non-bank di Indonesia masih sangat rendah. Padahal, kebutuhan akan keahlian penilaian risiko atau risk assessment diperkirakan akan terus meningkat. Pembukaan program studi pendidikan aktuaris di berbagai universitas menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan itu.
Dalam pembukaan Indonesian Actuarial Conference 2018 di Jakarta, Kamis (18/10/2018), Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank 1 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anggar Nuraini mengungkapkan, jumlah tenaga aktuaris di Indonesia saat ini sebanyak 568 orang dengan rincian 281 aktuaris fellow dan 287 ajun aktuaris. Jumlah ini belum memenuhi kebutuhan lembaga asuransi konvensional maupun syariah yang berjumlah 149 entitas.
“Sebagai regulator, OJK telah mewajibkan setiap perusahaan asuransi memiliki tenaga aktuaris dalam Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016. Idealnya, satu perusahaan asuransi memiliki tiga aktuaris fellow. Artinya, masih ada kekurangan 166 aktuaris fellow dari total kebutuhan 447,” kata Anggar.
Angka ini belum memperhitungkan kebutuhan aktuaris di lembaga dana pensiun, lembaga pendidikan, usaha rintisan, instansi pemerintah, hingga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Lembaga dana pensiun saja jumlahnya mencapai 223.
Ketua Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI) Fauzi Arfan mengatakan, kebutuhan tiga aktuaris di lembaga asuransi dimaksudkan untuk tiga fungsi berbeda, yaitu pengelolaan valuasi perusahaan, pembuatan harga produk, serta urusan aktuaria korporat. Ketiganya berkaitan dengan keahlian profesi aktuaris, yaitu mengukur, mengelola, dan memitigasi risiko.
“Pekerjaan aktuaris sangat penting bagi industri keuangan karena sifatnya multidisiplin. Di bidang asuransi, aktuaris harus bisa memperkirkan premi dengan memperhitungkan harapan hidup seseorang, risiko bencana, dan faktor-faktor lainnya,” kata Fauzi.
Duta Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste Peter MacArthur mengatakan, industri keuangan akan tumbuh seiring kecepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, aktuaris akan semakin dibutuhkan.
Berdasarkan data OJK, premi industri asuransi jiwa pada periode Januari-Mei 2018 mencapai Rp 81,3 triliun. Jumlah ini tumbuh 31,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Kompas, 4/8/2018). Di saat bersamaan, ekonomi Indonesia tumbuh 5,27 persen pada kuartal II 2018, meningkat 0,26 persen dari periode yang sama pada 2017.
Sekretaris Jenderal Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK) Kementerian Keuangan Langgeng Subur mengatakan, kebutuhan akan aktuaris ini dapat diatasi melalui pembukaan program studi (prodi) S1 pendidikan aktuaris di sembilan perguruan tinggi. Empat di antaranya adalah Universitas Indonesia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Prasetya Mulya.
Pembukaan program studi tersebut sejalan dengan program 1.000 Aktuaris yang dilaksanakan OJK dengan P2PK Kemenkeu dan pemerintah Kanada lewat READI (Risk Management, Economic Sustainability, and Actuarial Science Development in Indonesia). Field Director READI Bill Duggan mengatakan, kerja sama ini membantu kalangan pelajar Indonesia lebih memahami profesi aktuaris.
“Permintaan untuk prodi, misalnya di Prasetya Mulya, sudah sangat tinggi. Karenanya kami cukup optimis. Sekarang memang ada kekurangan, tapi empat sampai lima tahun ke depan pasti Indonesia memiliki lebih banyak aktuaris,” kata Bill.
Disrupsi Digital
Disrupsi digital menjadi tantangan sekaligus peluang profesi aktuaris di Indonesia. Menurut Fauzi, keberadaan aktuaris tidak dapat digantikan dengan mesin sekalipun. Profesi aktuaris adalah profesi yang dekat dengan dunia teknologi digital. Oleh sebab itu ia optimis jika ke depannya potensi profesi ini akan semakin diminati.
“Sistem digitalisasi akan membantu dalam mengolah angka atau data tersebut. Selanjutnya, aktuaris tetap dibutuhkan dalam menginterpretasikannya,” ujarnya.
Senada dengan Fauzi, Langgeng menilai, dengan adanya disrupsi digital justru sangat membantu para aktuaris dalam mendapatkan beragam data. Keterampilan manusia memberikan rasa yang berbeda dalam menggambarkan hasil analisis bila dibandingkan dengan mesin.
“Kami melihat adanya unsur human being, feeling, dan keterampilan manusia dalam menganalisis data itu tidak bisa digantikan. Teknologi digital digunakan oleh para aktuaris sebagai alat untuk bekerja,” ujar Langgeng.
Selain itu, Anggar menambahkan, era digitalisasi akan membuat analisis aktuaria semakin dinamis. Hal itu menjadi peluang untuk memperoleh data secara mudah dan variatif. Misalnya, produk asuransi memiliki banyak jenis, aktuaris diminta untuk bisa menilai risiko dan mengevaluasi nilai premi.
Sehingga, data-data itu dapat menjadi pendukung untuk mengolah permintaan yang diperlukan aktuaris secara cepat. Selain itu, perusahaan bisa menetapkan premi asuransi yang optimal dari data yang lengkap tersebut. (MELATI MEWANGI/KRISTIAN OKA PRASETYADI)