Bagi masyarakat adat Dayak, menganyam bukan hal baru, melainkan tradisi yang diwariskan dari ibu ke anak perempuan. Sama seperti Emeksie Limin (53) dari Desa Keladan, Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Ia menganyam rotan menjadi tas, keranjang, dan dompet yang eksotis.
Merintis usaha kerajinan tangan dari anyaman rotan sudah digeluti Emek, sapaan akrabnya, sejak 1997 silam. Emek biasanya hanya membuat beragam jenis tas anyaman khas Dayak, seperti tas anjat, tas rambat, tas tambuleng, hingga tikar rotan. Tas anjat dan rambat berbentuk seperti keranjang, sedangkan tas tambuleng bentuknya seperti tas jinjing wanita.
“Tas-tas itu sejak dulu digunakan untuk pergi ke kebun atau ke hutan, menaruh benih, menyimpan peralatan berladang, dan menyimpan perlengkapan pertanian lainnya,” kata Emek di tokonya Duta Dare, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, beberapa waktu lalu.
Sebagian besar tas buatan Emek memiliki motif yang relatif sama. Motif itu tidak sembarangan. Masyarakat Suku Dayak memang gemar bercerita lewat gambar atau motif, yang kemudian digambarkan lewat media anyaman rotan, kayu, bahkan tubuh dengan tato.
Tiap suku Dayak memiliki motif khasnya masing-masing. Ada juga motif umum yang bisa dipakai masyarakat adat Dayak kebanyakan. Seperti motif matahari, yang menceritakan tentang dewa matahari. Ada juga motif daun sawang yang kerap digunakan dalam ritual Suku Dayak dan memiliki khasiat magis menurut kepercayaan mereka. Lalu ada motif ihung yang menceritakan tentang kebiasaan menjala ikan.
Motif-motif itu dibuat dengan rotan berwarna hitam. Emek dan pengrajin kriya rotan di Pulau Kalimantan tidak menggunakan pewarna buatan untuk mendapatkan warna hitam dari rotan. Semuanya merupakan proses alami.
“Warna hitam itu menggunakan lumpur, jadi rotan direndam selama berhari-hari hingga menghitam,” jelas Emek.
Emek sangat teliti menganyam rotan. Ia merapatkan baris demi baris dan garis demi garis tiap rotan. Ketelitian itu terlihat pada guratan motif yang terbentuk. Menurutnya, salah memasukkan satu helai rotan saja bisa merusak seluruh motif.
Kriya anyaman rotan Dayak memang unik. Setiap detail terlihat begitu rapi, halus, dan dipikirkan masak-masak dari segi bentuk dan konstruksi.
Setiap produk memiliki harga berbeda-beda, tergantung dari tingkat kesulitan menganyam atau motif yang dibuat. Namun, beberapa produk andalan Emek selalu habis terjual karena harganya yang terjangkau.
Untuk tas selempang gaya anak muda dijual dengan harga Rp 100.000 per buah, sedangkan tas rambat orisinil dijual dengan harga Rp 225.000 per buah.
Sehari-hari, Emek dibantu suaminya, Simson Ginter (53) menganyam rotan. Mereka bisa membuat lima sampai enam tas rotan per hari.
Selain suaminya, Emek juga dibantu lima orang karyawan untuk menganyam tas rotan. Adapun di kampungnya di Kaladan, Emek mengupah 20 penganyam rotan. Hasil anyaman itu dibeli Emek.
Pelatihan
Untuk meningkatkan kualitas dan membuat tas anyaman rotan yang sesuai perkembangan zaman, Emek bersama 20 perajin rotan Dayak lainnya mengikuti pelatihan yang digelar Bank Indonesia Perwakilan Kalimantan Tengah, beberapa waktu lalu.
Pada pelatihan itu, Emek mengenal model tas terbaru yang digemari anak muda tanpa kehilangan nilai-nilai khas Suku Dayak.
“Sekarang ada berbagai macam model. Ada yang dicampur kulit, beludru, motif bunga, dan yang lain. Akan tetapi, yang orisinil tetap paling laris. Kalau yang sudah dicampur, kebanyakan yang beli dari masyarakat sekitar Kalteng,” ungkap Emek.
Dengan cara mengikuti tren itu, omzetnya pun meningkat, dari yang biasanya Rp 15 juta per bulan menjadi Rp 25 juta per bulan. Jumlah produk yang dijual per bulan juga meningkat.
Sementara, pemesan tas buatannya dari berbagai wilayah di Indonesia. Pasar tas anyaman rotan semakin luas, apalagi setelah anaknya mempromosikan tas buatan Emen melalui media sosial.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Tengah Wuryanto mengatakan, kerajinan rotan memang sudah menjadi tradisi turun-temurun Suku Dayak. Namun, untuk mengembangkannya, tetap memerlukan perbaikan kualitas dan strategi pemasaran.
“Dengan cara itu, usaha rotan kembali menjadi primadona di Kalimantan. Apalagi, sekarang industri rotan sedang terpuruk. Kriya anyaman rotan bisa menjadi titik balik kesuksesan komoditas rotan Indonesia, khususnya di Kalteng,” kata Wuryanto.
Untuk mengenalkan produknya ke masyarakat, Emek mulai rajin mengikuti berbagai pameran, baik di Kalteng maupun di luar Kalimantan. Pada akhir Juli lalu, ia menjadi peserta pameran Karya Kreatif Indonesia (KKI) di Jakarta, dengan membawa sedikitnya 450 produk rotan andalannya. Semuanya ludes dibeli pengunjung pameran.
“Ada tiga tas yang dibeli untuk dibawa ke Jepang sebagai contoh. Saya berharap tas anyaman rotan bisa mendunia,” katanya.
Saat ini banyak petani rotan di Kalteng kehilangan gairah karena harga rotan yang tertekan. Di sisi lain, usaha mikro, kecil, dan menengah rotan di Kalteng masih bergeliat. Tradisi menganyam rotan khas Dayak bisa menjadi cara untuk memperkuat budaya sekaligus mengembalikan kejayaan rotan Kalimantan.