KUPANG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam salah satu program kerja pada lima tahun ke depan menjadikan provinsi tersebut sebagai ladang tanaman kelor (Moringa oleifera). NTT termasuk daerah kering sehingga sangat cocok untuk budidaya tanaman kelor. Tanaman kelor bermanfaat untuk kesehatan dan meningkatkan ekonomi masyarakat. Kelor asal Timor memiliki kualitas kelas dunia kedua setelah Spanyol.
Tanaman kelor pun mudah tumbuh di semua jenis tanah, termasuk batu-batuan dan lahan kering. Kekeringan tidak menjadi penghambat bagi tanaman ini tumbuh kembang. Luas lahan kering di NTT sekitar 2 juta hektar, sedangkan lahan basah (sawah) hanya 850.000 hektar.
Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Tanaman Hortikultura NTT Yohanes Tay Ruba, di Kupang, Jumat (19/10/2018), mengatakan, Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur Yoseph Nae Soi memiliki salah satu satu program kerja unggulan lima tahun ke depan, yakni menjadikan NTT sebagai pusat tanaman kelor. Tanaman ini sudah dikenal lama di kalangan masyarakat NTT secara merata.
”Ada alasan kuat pemprov mempromosikan tanaman ini sebagai tanaman rakyat. Sebelum tanaman ini terkenal karena kandungannya bagi kesehatan manusia, sebagian besar masyarakat NTT sudah mengonsumsi tanaman ini. Mereka yang mengonsumsi daun kelor memiliki riwayat kesehatan yang relatif jauh lebih baik dibanding masyarakat yang tidak mengonsumsi,” tutur Tay Ruba.
Selain itu, kelor menghijaukan lingkungan sekitar dan meningkatkan pendapatan petani. Petani cukup menanam sebanyak mungkin kelor, kemudian dibiarkan tumbuh, sambil melakukan aktivitas lain. Kelor tumbuh dengan sendirinya dan tidak membutuhkan air banyak.
Harga daun dan buah kelor saat ini berkisar Rp 25.000-Rp 50.000 per kilogram yang dibeli pengusaha di tempat panen di NTT. Petani tidak perlu memanen dan menjual lagi ke luar NTT.
Kelor menghijaukan lingkungan sekitar dan meningkatkan pendapatan petani.
Tanaman kelor mudah ditemukan di seluruh daratan NTT. Tanaman ini tumbuh secara alamiah di pekarangan rumah warga, lahan pertanian, dan hutan. Saat ini, jumlah pohon kelor sekitar 250.000 pohon. Tinggi tanaman ini sampai 8 meter, usia paling lama 10 tahun, dan sudah bisa dipanen pada usia 3 tahun.
Masyarakat diajak menanam kelor sebanyak mungkin. Pengusaha pembeli daun atau buah kelor basah dan kering pun siap membeli. Proses budidaya kelor tidak rumit. Setelah ditanam, kelor akan tumbuh dengan sendirinya meski ditanam di lahan kering tanpa perhatian serius.
Pemprov menyediakan 30.000 anakan kelor yang dibagikan secara cuma-cuma kepada petani, terutama petani di daratan Pulau Timor. Setiap petani diberi 20 anakan. Jika semua anakan berhasil tumbuh dan dipanen, Pemprov NTT akan menyediakan pemasaran.
Ke-30.000 anakan tersebut hanya sebagai motivator. Petani didorong menanam kelor secara besar-besaran sehingga dapat menjadi gerakan masif di seluruh daratan NTT, yakni gerakan revolusi hijau.